HOEGENG IMAN
SANTOSO
POLISI IDAMAN
(SEBUAH BIOGRAFI)
LATAR BELAKANG
Penulis memilih topik biografi dari
sosok Hoegeng Iman Santoso karena penulis merasa tertarik atas kepribadian,
loyalitas serta dedikasi beliau terhadap kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dimana beliau pernah menjabat sebagai Kepala Kepolisian negara Republik
Indonesia. Banyak usaha-usaha yang beliau lakukan untuk meningkatkan citra
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan hal tersebut juga dicontohkan beliau
sebagai teladan di dalam kehidupan sehari-hari dan juga selama berdinas di
kepolisian. Di berbagai institusi termasuk kalangan kepolisian para petingginya
sangat banyak yang mengelu-elukan hal yang baik namun sangat jarang pula yang
bisa menunjukkan teladan yang pantas untuk di contoh, tetapi dalam sosok polisi
yang satu ini justru teladan itulah yang ditunjukkannya dalam kehidupan
sehari-harinya.
Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai
perjalanan hidup dan karier dari tokoh Hoegeng Iman Santoso mulai dari masa
kanak-kanak hingga beliau menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang
ketiga.
Hebatnya
Pak Hoegeng, dia tidak bersih untuk dirinya sendiri, tapi juga berusaha
melakukan perubahan di lingkungan tempat kerjanya agar menjadi lingkungan yang
betul-betul bersih. Tidak sedikit orang bersih dalam tubuh pemerintahan
sekarang, tapi kebanyakan mereka tidak menebarkan inspirasi dan motivasi bagi
perubahan kolektif disekitarnya. Ketika di Medan, Pak Hoegeng memprakarsai
pertemuan-pertemuan dan lobi-lobi
antikorupsi secara reguler, dengan melibatkan para pejabat sipil dan militer
serta tokoh masyarakat.[1]
Sesungguhnya
Pak Hoegeng sudah menerapkan strategi Good Governance, yang sekarang menjadi
ideologi global untuk melawan korupsi, yaitu diperlukan adanya aksi bersama
dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat warga (civil society), pendekatan
yang sama beliau pakai juga ketika di imigrasi, pajak, dan bea cukai.
Tulisan
ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas dari mata kuliah Sejarah Kepolisian pada
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Angkatan 46.
BAB I
MASA
KANAK-KANAK DI PEKALONGAN
Hoegeng
Iman Santoso berasal dari keluarga baik-baik, suatu keluarga yang terhormat.
Ayahnya dapat dikatakan orang Tegal, sedangkan Ibu orang Pemalang.
Dia
sendiri lahir tanggal 14 Oktober 1921 di Kota Pekalongan, kota kecil di
pesisir utara Jawa Tengah, kurang lebih
100 kilometer di sebelah barat kota Semarang. Tepatnya di Kampung Pesatean,
salah satu Kawasan yang dulunya merupakan salah satu
Jenderal Pol.Hoegeng Iman Santoso
perkampungan orang arab di sana, dan tak jauh dari
Bong Cina yaitu kompleks pekuburan orang-orang cina.
Sebab
lahir dan besar di Pekalongan maka dia agaknya lebih dikenal sebagai orang
Pekalongan.
Yang pertama – tama hendak saya kisahkan adalah
bagaimana dia memang dianggap orang Pekalongan oleh orang yang mengenal
Pekalongan dan mengenal nya. Setidak –
tidaknya bagaimana dia diperlakukan sebagai orang Pekalongan sendiri. Tentang
itu ada suatu ilustrasi.
Pada
tahun 1965 dia diangkat Presiden Soekarno sebagai Menteri Iyuran Negara dalam
kabinet yang sering di ejek orang sebagai Kabinet Seratus Menteri !
Pengangkatannya itu konon atas usulan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dia rupanya
dinilai pantas untuk jadi menteri meskipun berasal dari Jajaran Kepolisian, dia
berkantor di gedung keuangan sekarang. Sabagai menteri tamu-tamunya tentulah
bukan orang-orang sembarangan sebab tidak sembarang orang perlu berurusan
dengan menteri! Ini bukan membanggakan diri, hanya sekedar penjelasan ringkas
tentan soal-sola praktis saja.
Tapi
suatu hari, ketika beliau sedang berada di kamar kerjanya, maka datanglah
seorang tamu yang tidak biasa, bukan pejabat negara dan juga bukan pemimpin
masyarakat . Sekretarisnya melaporkan,bahwa di balik pintu sedang menunggu
seorang tamu, nama si anu pekerjaan seorang karyawan batik di Pekalongan.
Sang
tamu tak mau bilang untuk apa ia datang menemui Hoegeng. Ia hanya mendesak agar
kepadanya disampaikan seorang sahabat dari Pekalongan mau bertemu.
“Pak Hugeng pasti mau menerima kedatangan saya!”
Demikian ia mendesak meyakinkan sekretarisnya.
Para siswa MULO Pekalongan II B
bergambar bersama para gurudan pimpinan sekolah
Segera Hoegeng teringat bahwa yang hendak berjumpa
dengannya itu adalah temannya main layangan ketika masih murid HIS ( Hoollandschii Inlandsche School, semacam
SD sekarang ) tahun 1928.
Jika di
saat-saat tertentu Hoegeng pulang Pekalongan maka dia berjumpa si Bongkok lagi.
“Saya tak lupa namanya”, Hasan, juga tubuhnya atau punggungnya sedikit bongkok.
Hoegeng meminta pada sekretaris agar sang Tamu di persilahkan masuk. Hanya saja
dalam hatinya bertanya-tanya, urusan atau kesulitan apakah yang sedang di
hadapi sobatnya yang datang dari Pekalongan itu sehingga ia harus memutuskan
menghadap seorang menteri? Apakah masalah yang dihadapinya teramat besar
sehingga hanya bisa ditangani seorang menteri seperti Hoegeng ? “Saya tentu
hanya bisa menduga-duga dan tak ada hasilnya”. Terus terang ,hati Hoegeng agak
risau memikirkannya.
Dari pintu masuklah Hasan.Namun begitu pintu tertutup
atau ditutup
kembali, maka menyeburlah sumpah serapahnya yang hangat dan gembira: “Asu kowe benar-benar asu ya, gendeng benar wong Pekalongan bisa-bisanya jadi menteri!” Mereka
bersalaman, berangkulan dengan hangat dan seolah olah berpacu siapa yang
tertawa yang paling keras! Bagi yang kurang mengerti bahasa Jawa harap maklum
bahwa asu berarti Anjing.Jadi saya yang sudah menteri di
Republik Indonesia justru dimaki-maki sebagai anjing. Saya dan dunia ini malah
di bilang gendeng(gila),hanya gara
gara seorang Pekalongan diangkat menjadi menteri !
Bagi
kebanyakan pembaca yang tak mengerti orang Pekalongan, barangkali si Hasan
bongkok itu itulah yang justru gendeng
atau gila. Apalagi kedatanganya bukan untuk suatu urusan besar atau kecil bagi seorang menteri, tapi justru hanya untuk memaki maki
itu saja. Tapi itulah gaya orang Pekalongan, setidaknya antar orang-orang
Pekalongan yang merasa akrab satu sama
lain. Segala tata krama dan bahasa halus lenyap, diganti dengan bahasa Tarzan
yang hangat, spontan dan jujur. Kehangatan kata-kata yang spontan lebih
mengesankan daripada arti normatif kata-kata yang diucapkan.
Teman
saya Hasan tidaklah menghina Hoegeng dengan kata-katanya. Ia hanya bermaksud,
dengan gaya Pekalongan yang Khas, untuk menyatakan atau mengekspresikan rasa
gembiranya karena salah seorang teman akrabnya diangkat menjadi seorang
menteri!
Seingatnya
masih ada seseorang yang lain yang mengingatkannya akan gaya Pekalongan. Tetapi
kali ini bukan dari orang biasa yang bongkok dan Karyawan batik. Yang dimaksud
adalah dr.Soebandrio, yang selalu dipanggilnya Mas Ban. Hoegeng mengenalnya
ketika masih menjadi mahasiwa hukum di Batavia, sedangkan Mas Ban mahasiswa
kedokteran. Dan di zaman Revolusi kemerdekaan mereka bertiga _Sayuti Malik_,dr.
Soebandrio dan Hoegeng pernah bersama sama ditugaskan Gubernur Jawa Tengah Mr.
Wongsonegoro untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pergolakan
“Revolusi Sosial” pada akhir Tahun 1945 di tiga daerah ( Tegal,Brebes dan
Pemalang. Dr. Soebandrio adalah anak seorang Wedana berasal dari Jawa Timur,
seorang yang terpelajar atau berpendidikan tinggi akan tetapi akhirnya bergerak
di lapangan politik, dunia diplomasi dan pemerintahan. Pada zamanya ia dikenal
sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia yang populer,cerdas, dan cerdik serta
disukai para wartawan. Seperti Adam Malik, baginya bagaikan tak ada jawaban “No
Comment” atas pertanyaan para wartawan. Puncak kariernya politiknya ialah
ketika Mas Ban diangkat menjadi Waperdam I ( Wakil Perdana Menteri I ), suatu
posisi yang menempatkan dirinya sebagai orang kedua di Indonesia sesudah
Presiden Soekarno! Bahwa pada akhirnya Mas Ban harus meringkuk di penjara,
hanyalah suatu resiko yang kadangkala memang harus diterima seorang politikus
semacam dia.
Yang
hendak saya kisahkan disini adalah ketika nama-nama menteri diumumkan Presiden
Soekarno, maka Dr Soebandrio sedang tidak di indonesia.Sebagai menteri Luar
Negeri Mas Ban sedang bertugas di Aljazair. Tapi ia dapat mengikuti
perkembangan di Tanah air melalui radio. Dan dari siaran radiolah Mas Ban
mengetahui bahwa saya diangkat sebagai Menteri Iuran Negara. Maka dari Aljazair
Mas Ban mengirim sebuah telegram pada saya. Isinya adalah sambutan hangat atau
semacam ucapan selamat atas diri saya pribadi.
Sebuah
telegram yang bagi Hoegeng terasa luar biasa manis sehingga begitu dia buka
maka saya kontan tertawa terbahak-bahak. Niscaya suatu ucapan selamat yang
orisinil dan paling meriah di dunia, tapi dia tak berani memperlihatkan
telegram itu pada siapa pun. Telegram itu hanya berbunyi, “Diancuk, kowe diangkat pula jadi menteri!”
Demikianlah
dr. Soebandrio. Gayanya mengingatkan Hoegeng akan gaya Pekalongan. Jika teman
Pekalongannya menggunakan kata ‘asu’
maka mas Ban seperti orang Surabaya hanya mengggantinya dengan ‘diancuk!’. Kesan yang jelas sekali.
Nampaknya tak ada perbedaan gaya Pekalongan yang dipakai Hasan dengan gaya
Surabaya yang dipakai dr. Soebandrio yang adalah Menteri Luar Negeri dan
Waperdam I di Republik Indonesia.
Yang
tergambar dalam batok kepala Hoegeng adalah, bahwa baik dalam gaya Pekalongan
atau barangkali juga gaya Surabaya, yang penting adalah rasa akrab yang hangat
dalam kata-kata. Sama sekali bukan norma-norma, termasuk arti resmi kata-kata
yang digunakan. Orang Pekalongan dan barangkali juga orang Surabaya memang unik
dalam hal ini. Apabila seseorang sudah merasa akrab dengan yang lain mak dengan
sendirinya segala perbedaan strata dan norma-norma sosial yang resmi dan umum
menjadi hilang. Maka tak ada perbedaan antara seorang manusia kecil di mata
umum dengan pejabat atau pemimpin. Hasan agaknya lebih risau berhadapan dengan
sekretaris Hoegeng daripada dengannya sendiri yang waktu itu sudah menjadi
menteri. Sebaliknya Hoegeng sendiri tidak merasa lebih tinggi dari Hasan.
Hoegeng
adalah seorang yang rendah hati, itu merupakan sikap dasarnya, bila berhadapan
dengan seseorang maka dia tidak mengukur seseorang dari status sosial dan kedudukannya, tidak juga dari perbedaan
posisi, paham dan pilihan politik, ataupun juga perbedaan ras dan golongan, jika
Hoegeng berhadapan dengan seseorang maka ia akan menghadapinya sebagai manusia,
sikap demikianlah yang didambakannya dalam hidup ini.
Dia
memiliki teman akrab dari berbagai bangsa, dan banyak diantaranya orang Belanda
totok atau orang Indo. Pada tahun 1952 setelah selesai diwisuda yang pertama
dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Hoegeng beserta lulusan lainnya diminta
Presiden Soekarno datang ke istana negara di jalan Merdeka, Bung Karno rupanya
menaruh perhatian besar terhadap lulusan PTIK yang pertama kalinya ini, mereka
ditanyai satu persatu oleh Bung Karno tentang asal daerah, keluarga dan lain
sebagainya.
BAB II
MASA SEKOLAH DAN MASA REMAJA
Orang
tua Hoegeng pindah ke kota kecil Pemalang, bekerja sebagai Jaksa di Landraad (
Pengadilan Negeri ) setempat, ketika tahun 1927 pertama kali masuk sekolah di
kelas I HIS ( Hollandsch Inlandsche
School ) di Pemalang. Saat itu Hoegeng berumur 6 tahun, dia mau kala dia
duduk di bangku sekolah agar ayahnya juga menemaninya sampai dengan lon ceng
tanda pulang sekolah berbunyi, “ sungguh suatu hal yang lucu “, ungkapnya. Dia
mempunyai guru yang bernama Mevrouw Souissa, menurutnya gurunya ini orang yang
sangat baik dan penuh pengertian, berbagai cara dibuatnya agar Hoegeng tidak
lagi meminta ayahnya untuk menemaninya selama di sekolah, dan ternyata hal
tersebut berhasil, sejak saat itu Hoegeng tidak mau lagi ditemani ayahnya di
sekolah, malah ia berangkat ke sekolah sendiri dengan menaiki pedati, yang
memang menjadi angkutan di pekalongan pada zaman itu.
Kemudian
pada kelas II ayahnya dipindahkan ke Pekalongan, maka Hoegeng kecil juga pindah
ke HIS Pekalongan, yang mana Kepala sekolahnya pada saat itu adalah Meneer
Edeking.
Hoegeng menamatkan HIS nya pada tahun 1934, lantas
masuk MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs ) Pekalongan, setara denga SLTP
sekarang. Bahasa pengantar pada sekolah tersebut adalah bahasa Belanda, mata
pelajarannya antara lain bahasa Belanda, Prancis, Jerman, Wiskunde
(matematika), Biologi, Ilmu hewan, Sejarah, Menggambar, Ilmu alam, dan Ilmu
ukur.
Pada kuartal pertama Hoegeng mendapat nilai yang
lumayan, namun pada kuartal kedua nilainya menurun, ini akibat seringnya ia
bermain layangan.
Kegiatan
Hoegeng diluar sekolah selain mengaji secara rutin dia juga senang dengan
alat-alat musik, dia sering memainkannya ditambah dengan hobinya menyanyi, dia
bergabung dalam grup musik “Hawaiian”.
Setamat
dari MULO Pekalongan pada tahun 1937 Hoegeng menyambung sekolah di AMS (
aglemeene Middlebare School ) Yogya, itu sejenis SLTA sekarang. Di AMS Hoegeng
juga melanjutkan hobi musiknya melalui grup Hawaiian diluar sekolah. Dia
menamatkan AMS nya pada tahun 1940.
Setelah
lulus dari AMS Hoegeng kemudian melanjutkan studynya ke RHS ( Recht Hoge School
) di usianya yang ke 19, Hoegeng masuk ke RHS dengan maksud untuk dapat
melanjutkan sekolah di sekolah Komisaris Polisi di Sukabumi, ini merupakan
cita-citanya sejak kecil. Gedung RHS adalah gedung disamping museum Gedung
Gajah, yang kini dipakai Departemen Hankam di jalan Merdeka Barat, disana dia
mempelajari Ilmu Ekonomi, Ilmu Hukum, Hukum Pemerintahan, Bahasa Jawa, Hukum
Adat, dan
Hoegeng dan
rekannya pada waktu menjadi Siswa AMS, 1939
juga Tenteerder. Selama kuliah di RHS Hoegeng juga
bergabung dengan perkumpulan Mahasiswa Indonesia USI. Namun sayangnya Hoegeng
tidak begitu lama kuliah di RHS sebab masuknya Jepang ke indonesia yang
kemudian RHS ditutup.
BAB III
MENJADI ANGGOTA POLISI
Tutupnya
RHS di Batavia lalu Hoegeng menganggur di Pekalongan pada masa penjajahan Jepang.
Ia mengisi kegiatan sehari-harinya dengan berdagang keliling kecil-kecilan, ia
menjual telur, buku-buku pelajaran bahasa Jepang kemana-mana dengan menaiki
sepeda.
Kemudian
setelah itu ada buka lowongan buat pemuda pemudi Indonesia memasuki suatu kursus
Polisi, minimal tamatan MULO di kantor Polisi keresidenan Pekalongan guna
menggantikan 11 orang inspektur Polisi orang Belanda dan Indo yang sudah berada
dalam tahanan Jepang. Namun setelah lulus test masuk Hoegeng dan 10 orang
rekannya yang lain tidak menyandang pangkat Inspektur (Keibu dalam bahasa
jepang) tetapi hanya diberi pangkat Hoofd Agent Polisi yang setara dengan
bintara.
Kursus dan latihan Polisi di Pekalongan dipimpin
oleh orang Indonesia yaitu Pak Soemarto yang saat itu merupakan orang yang pangkatnya
tertinggi di Pekalongan yakni Komisaris Polisi Kelas I, lokasi dari kursus
Polisi itu yaitu di asrama Polisi ( Tangsi ) Kraton, Pekalongan. Sekolah Polisi
ini didikannya seperti Militer, keras sekali disiplinnya, bersifat Spartan,
dimana kegiatannya adalah latihan-latihan fisik, penggunaan senjata, baris
berbaris dan latihan bela diri. Setelah lulus kursus kemudian Hoegeng ditarik
Pak Soemarto bekerja di kantor Jawatan kepolisian Keresidenan Pekalongan, saat
itu umurnya 21 tahun. Kemudian pemerintah pusat membuka pendidikan untuk kader
tinggi kepolisian, lalu Hoegeng mengikuti test dan lulus kemudian mengikuti
pendidikan kepolisian di Sukabumi. Sekolah Polisi di zaman Jepang dibagi dua,
yang pertama tingkat Koto Kaisatsu Gakko ( kader Polisi Tinggi ) dan yang kedua
untuk tingkat Futsuka Kaisatsu Gakko ( Agen Polisi ), yang masuk Koto adalah
kader-kader polisi yang sudah pernah memiliki kursus polisi dan sudah bertugas,
sementara Futsuka ditujukan bagi mereka yang belum pernah mengikuti kursus polisi.
Kebanyakan
dari guru dan instruktur di sekolah polisi Tinggi sukabumi adalah orang Jepang,
sebelum lulus para siswa sudah diberi pangkat Junsabutyo dan sudah menerima
gaji yang besarnya Rp 45,-, setelah lulus dari sekolah tersebut para siswa
diberi pangkat Minarai Junsabutyo, tidak sesuai dengan janji Jepang yang
menjanjikan setelah lulus dari sekolah ini akan berpangkat Inspektur.
Setelah tamat dari sekolah Polisi Sukabumi Hoegeng
ditempatkan di Kantor Keamanan ( Chiang Bu ) Semarang, Chiang Bu membawahi
unsur kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian saat itu membidangi tugas (a) Koto
Kei Satsuka (DPKN ), (b) Keimu Ka (Umum), (c) Keizai Ka (Ekonomi). Hoegeng
bekerja di Koto Kei Satsuka. Ditempat ini Hoegeng dinaikkan pangkatnya dari
Minarei Junsa bucho menjadi Kei Bu Ho II atau Ajun Inspektur Polisi Kelas II.
Setelah beberapa bulan bekerja di Chiang Bu maka
Hoegeng dipindahkan ke Seksi II Kepolisian Kota Semarang, jabatannya Wakil
Kepala Seksi II, disini pangkatnya naik menjadi Kei Bu Ho I atau Ajun Inspektur
Kelas I, dan kemudian ditarik menjadi Kepala Seksi II tersebut. Dia bekerja
saat itu dibawah pimpinan orang Jepang, pada dasarnya tugasnya saat itu adalah
mengerahkan polisi-polisi Indonesia untuk menjalankan apa maunya orang Jepang.
Terakhir dia dipindahkan Jepang ke Bojong, di tempat ini Hoegeng bekerja
dibawah R. Soekarno Djojonegoro yang menjabat sebagai Keibi Kacho (Kepala
Bagian Penjagaan). Dari sini dapat diketahui bahwa karier polisinya dimulai
dari bawah.
Tanggal
17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan Kemerdekaan
Indonesia, kejadian ini berpengaruh besar juga terhadap situasi daerah-daerha
termasuk semarang dan sekitarnya. Saat itu Hoegeng masih bekerja di Keibi
Kacho, ada perintah agar seluruh aparat kepolisian berkumpul di Semarang, pada
pertemuan tersebut diberikan briefing agar polisi mengambil alih pemerintahan
dari orang Jepang. Hal tersebut dilaksanakan Hoegeng dan kawan-kawan, bukan
hanya sekedar mengambil alih kantor-kantor pemerintahan saja, tetapi para
pemuda yang demam revolusi juga mencuri senjata-senjata orang Jepang dengan
maksud untuk berjaga-jaga atas situasi dan keadaan selanjutnya.
Selama
masa revolusi kemerdekaan sudah merupakan hal yang biasa bagi pemuda-pemuda
Indonesia berpindah-pindah dari kesatuan yang satu ke kesatuan yang lain,
demikian juga dengan Hoegeng. Hal ini bermula ketika ia bertemu dengan M.Nazir
(berpangkat Kolonel L saat itu) M.Nazir menawarkan kepadanya agar bergabung
dengan Angkatan Laut, dengan alasan bahwa di Angkatan laut sedang melakukan
pembenahan dan memerlukan orang-orang seperti Hoegeng, sementara jawatan
Kepolisian saat itu struktur dan bidang pekerjaannya sudah definitif. Maka
Nazir menawarkan Hoegeng untuk bekerja bersamanya di Angkatan Laut Yogyakarta
yang saat itu baru dirintis.
Suasana
perjuangan kemerdekaan saat itu sedang mengalami titik puncaknya karena
datangnya pasukan Sekutu ke Indonesia. Kenyataan bahwa bersama datangnya
pasukan Sekutu membonceng pasukan NICA ( Netherland Indisch Civil
Administration ) yang berusaha mengibarkan kembali bendera tiga warna
(Belanda).
Sebenarnya tugas pokok Sekutu pada saat itu adalah
(a) Mengurus tawanan perang yang disekap Jepang dalam rumah-rumah penjara, (b)
Melucuti dan mengembalikan serdadu-serdadu Jepang ke negerinya, dan (c)
Menegakkan kembali ketertiban dan keamanan. Akibat dari situasi Sekutu yang
membonceng NICA dan berusaha untuk mengembalikan kekuasaan Belanda terhadap
Indonesia ini maka timbul gejolak-gejolak perlawanan dari pemuda Indonesia pada
saat itu, dan yang terbesar adalah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Hoegeng sebagai seorang pemuda saat itu juga merasa terpanggil jiwa
kepahlawanannya, sehingga ia berpikir bahwa jalan yang paling tepat adalah
dengan memasuki tentara, dengan demikian ia begitu saja meninggalkan jawatan
kepolisian dan melapor ke M.Nazir di Yogyakarta serta bergabung dengan Angkatan
Laut. Di sana Hoegeng diberi pangkat Mayor
dan menjabat sebagai Komandan Angkatan Laut. Oleh M.Nazir ia
diperintahkan untuk membentuk dinas Kepolisian Militer Angkatan Laut yang
bernama satuan Penyelidik Militer Laut Khusus (PMLC).
Pada
suatu kesempatan di Yogya Hoegeng bertemu dengan mantan gurunya di sekolah
Polisi Sukabumi R.S Soekanto, yang memangku jabatan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia (kemudian diganti Panglima Angkatan Kepolisian lalu Kapolri)
yang pertama. R.S Soekanto saat itu sedang menghadiri sidang kabinet di Yogya.
Dalam perbincangan mereka R.S Soekanto menyadarkan Hoegeng bahwa sebagai
alumnus sekolah kepolisian seharusnya ia tetap dijajaran kepolisian, akhir kata
Hoegeng kembali ke jawatan kepolisian.
Pada
saat berdinas di Angkatan Laut Yogyakarta Hoegeng juga bertemu dengan seorang
gadis yang bernama Meryati, gadis ini juga sebenarnya berasal dari daerah yang
sama dengannya yakni daerah Pekalongan. Mery bekerja sebagai penyiar di radio
ALDO Yogyakarta, dimana Hoegeng juga sering berkunjung kesana karena salah
seorang temannya yang bernama Iskak mempunyai urusan di radio tersebut sebagai
seorang sutradara acara radio. Mery adalah anak dari dokter Soemakno yang
bekerja sebagai Inspektur Kesehatan untuk daerah Jawa Tengah yang berkedudukan
di Yogyakarta, alhasil karena sering bertemu dan mereka memainkan sandiwara
radio bersama Hoegeng jatuh cinta kepada Mery dan selanjutnya memperisterinya.
BAB IV
KEMBALI KE JAWATAN
KEPOLISIAN
Keluar
dari Angkatan Laut Hoegeng bergabung kembali dengan jajaran kepolisian di
Yogya, kemudian dia sekolah lagi sebagai mahasiswa tugas belajar Akademi
Kepolisian di Mertoyudan, dengan pangkat Inspektur Polisi Kelas II. Pada saat
tugas belajar ini isterinya Mery melahirkan anak pertama mereka pada tanggal 6
Desember 1947, mereka memberi nama Reni Soerjanti Hoegeng, yang sekarang
menjadi Nyonya Rudi Wowor.
Pada tanggal 20 Juli 1947 meletus Agresi Militer
Belanda I, akibat situasi tersebut ada perintah dari Kepala Kepolisian di Yogya
melalui Kepala Kepolisian Residen Pekalongan Soekarno Djojonegoro yang isinya
kepada mahasiswa Akademi Kepolisian agar bergabung dengan kepolisian setempat.
Maka demikianlah Hoegeng melapor untuk bergabung dengan kepolisian di
Pekalongan. Pusat Kepolisian RI di Yogya saat itu dipindahkan ke Purwokerto,
sedangkan di kota Pekalongan, berhubung pusat kota sudah dikuasai militer
Belanda, maka kegiatan pemerintahan dan kepolisian dipusatkan dipinggiran
selatan kota Pekalongan.
Tanggal
2 Agustus PBB turun tangan dengan memutuskan agar Indonesia-Belanda
menghentikan tembak menembak, atau “cease fire”, penyelesaian permasalahan
Hoegeng dan
Isteri dengan bangga menatap bayi mereka yang pertama, Reni yang lahir pada
tanggal 6 Desember 1947
Indonesia-Belanda saat itu lebih banyak dilakukan
dengan perundingan-perundingan yang intensif yang sering diadakan antara di
Jakarta dan di Yogyakarta. Di Indonesia saat itu dibentuk delegasi-delegasi
diplomasi politik tingkat tinggi, maka ada suatu badan pemerintahan yang
merupakan delegasi tekhnis bekerja sama dengan berbagai pihak mengenai urusan
perekonomian, tawanan, atau tahanan perang, dan lain-lainnya yang
dikoordinasikan oleh Departemen Sosial. Saat itu Hoegeng mendapat tugas ke
Jakarta untuk mencari informasi mengenai situasi di Jakarta, maka di Jakarta ia
bertemu dengan Pak Soemarto, Wakil Kepala Kepolisian Negara, rupanya Soemarto
adalah anggota delegasi Indonesia yang mengepalai bagian sosial, ia juga pernah
menjadi atasan Hoegeng ketika bertugas di Semarang. Kemudian Hoegeng ditawari
oleh Pak Soemarto untuk bekerja bersamanya di bagian sosial, namun tawaran
tersebut sementara belum ditanggapinya mengingat ia juga masih tugas belajar di
Akademi Kepolisian Mertoyudan, takut-takut kalau belajarnya tidak terbengkalai.
Tetapi setelah pulang ke Yogya ia mengetahui bahwa akibat dari situasi kota
Yogya yang tak menentu sebab periode gencatan senjata seusai Agresi Militer
Belanda I Akademi Kepolisian juga vacum. Dia pun kembali ke Jakarta setelah
mendapat ijin dari R.S Soekanto dan langsung bekerja di bawah pak Soemarto
sejak November 1947.
Bekerja
sebagai anggota delegasi Indonesia Bagian Sosial yang dikepalai Soemarto saat
itu ditekankan pada monitoring dan membantu meringankan nasib para pejuang
Indonesia yang ditahan oleh pihak Belanda. Mengusahakan bantuan-bantuan lalu
menyalurkannya bagi mereka. Hoegeng juga bertugas sebagai perwira penghubung
antara jawatan Kepolisian RI dengan angkatan-angkatan lainnya.
Ketika Akademi Kepolisian dibuka kembali maka
Hoegeng meneruskan kuliahnya, bahkan ikut dalam organisasi intra mahasiswa.
Sebagai mahasiswa tugas belajar dia juga bekerja sebagai anggota dinas
kepolisian yang aktif.
BAB V
IKUT MENUMPAS KUDETA PKI –
MUSO
Sementara
itu perkembangan selanjutnya yang meliputi kota Yogya dan kehidupan politik di
Indonesia umumnya adalah berkembangnya rasa tidak puas terhadap
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Kabinet Syahrir yang ketiga jatuh pada
tanggal 3 Juli 1947. Maka Presiden Soekarno menunjuk Mr.Amir Syarifuddin
sebagai Perdana Menteri.
Tanggal 2 Desember 1947 muncul USS Renville (di
Teluk Jakarta) tempat dilakukannya perundingan Indonesia dan Belanda, yang
membuahkan Perjanjian Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari
1948, namun luas wilayah Indonesia pada Perjanjian Remville ini lebih kecil
dibanding pada Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani PM Schermerhorn dan
PM Sutan Syahrir, sementara Perjanjian Renville ini ditandatangani oleh Mr.Abdulkadir
Wirjosanjoyo dengan PM Amir Syarifuddin. Jadi setelah lama merdeka rupanya
posisi Indonesia lebih lemah daripada sebelumnya, sedangkan posisi Belanda
semakin kuat. Rasa puas terhadap kebijaksanaan pemerintah semakin meluas,
Kabinet Amir Syarifuddin jatuh pada tanggal 23 Januari 1948, dan digantikan
Kabinet Presidentil Hatta.
Oposisi
terhadap pemerintah semakin tajam, perkembangan situasi benar-benar buruk,
kekuatan politik kita bukan hanya mengandung banyak perbedaan pandangan dan
pendirian, melainkan perselisihan dan pertentangan. Kelompok Partai Sosialis
akhirnya pecah menjadi dua yaitu PSI Syahrir dan FDR. FDR dapat dikatakan
sebagai koalisi kelompok kiri radikal, seperti kelompok PKI Muso, Pesindo Amir
Syarifuddin. Sebagai tambahan informasi bahwa Presiden Soekarno juga tidak akur
dengan pikiran-pikiran PSI ini, demikian juga Soedirman yang saat itu merupakan
pimpinan TNI, disebutkan bahwa dia tidak setuju dengan kebijakan pemerintah
yang berunding dengan Belanda, karena dianggap meremehkan tentara pimpinan
Soedirman, karena itu Soedirman juga menolak untuk tunduk pada kontrol
pemerintahan Amir Syarifuddin. Pesindo yang dibentuk oleh Amir Syarifuddin ini
juga dikatakan sebagai organisasi yang berjuang di bidang militer yang
merupakan pasukan bersenjata golongan kiri.[2]
Pada tanggal 18 September 1948 terjadilah
peristiwa Madiun yang melibatkan FDR, didorong militansi dan kurang perhitungan
PKI-Muso yang ingin melakukan kudeta terhadap pemerintah RI. Selain Divisi
Siliwangi dibawah Kolonel Gatot Subroto, maka seluruh kekuatan anti komunis
bergerak menghancurkan pengkhianatan PKI-Muso dan unsur-unsur FDR lainnya.
Di
Kepatihan diadakan rapat di jajaran kepolisian dibawah pimpinan Pak Soemarto
untuk membahas perkembangan dan menentukan langkah-langkah yang akan diambil
kepolisiian dalam penumpasan gerakan kudeta pihak komunis. Kepolisian RI
memutuskan menggerakkan beberapa kompi Mobil Brigade Surabaya, Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Mahasiswa Akademi Kepolisian juga dilibatkan dalam penumpasan
pasukan komunis, tugas mahasiswa Akademi Kepolisian adalah untuk meneliti
apakah ada anggota kepolisian yang terbunuh disiksa pasukan komunis yang
ganas-ganas, atau gugur dalam pertempuran, atau hilang/menghilang karena
bergabung dengan para pemberontak. Jadi dapat dikatakan hampir semua kekuatan
kepolisian di Jawa Timur dan Jawa Tengah dikerahkan, termasuk Hoegeng dan yang
lainnya yang saat itu menjadi mahasiswa Akademi Kepolisian. Hasil penelitian
mahasiswa mengatakan bahwa tidak ada anggota kepolisian yang terlibat dalam
PKI-Muso, yang ada hanyalah anggota yang menjadi korban, atau yang hilang
karena bersembunyi atau lari.
BAB VI
MAHASISWA PTIK
Hoegeng dan
Isteri pada saat menjadi mahasiswa PTIK
Pada
tanggal 27 Desember 1949 dilakukanlah Penyerahan Kedaulatan ke tangan Republik
Indonesia, yang merupakan hasil Konperensi Meja Bundar (KMB) di denhaag. Dan
Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Perdana Menteri
Moehammad Natsir, dan dengan resmi diterima menjadi anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Maka Indonesia sepenuhnya mengurus dirinya sendiri. Pada
saat itu Hoegeng dan keluarga pindah ke Jakarta.
Di Jakarta
Hoegeng masih berfungsi rangkap, Disatu pihak sebagai mahasiswa PTIK, dan di
pihak lain sebagai polisi juga, namun kebanyakan ia bertugas sebagai polisi
dibanding sebagai mahasiswa, sebab saat itu belum ada tempat kuliah PTIK di
Jakarta. Sehari-hari Hoegeng diperbantukan pada bagian Lalu Lintas dan
lain-lain di Markas Besar Angkatan Kepolisian, waktu itu Ia berpangkat Ajun
Komisaris Polisi (AKP).
Hoegeng
adalah mahasiswa PTIK angkatan pertama, dengan demikian ia banyak terlibat
langsung dalam proses pembentukan dan pemantapannya ditahun-tahun awal. Semula
namanya Sekolah Polisi Negara Bagian Tinggi, diresmikan pembentukannya tanggal 17
Juli 1946 di Yogya, namun kuliah pertama dimulai 1 Juli 1946 di Mertoyudan, itu
di zaman revolusi kemerdekaan, maka pendirian Perguruan Tinggi ini boleh
dikatakan hanya bermodal pertama idealisme untuk mendapatkan tenaga-tenaga
polisi Indonesia yang profesional dengan memiliki wawasan pengetahuan akademis
yang cukup. Tenaga pengajar, gedung, sistem, dan lain-lainnya dibenahi sambil
berjalan. Para mahasiswanya adalah polisi yang memiliki basis pendidikan untuk
memasuki perguruan tinggi. Uniknya para mahasiswa angkatan pertama dilibatkan
dalam pembenahan lembaga pendidikannya. Jadi ibarat seorang murid yang juga
harus memikirkan pembangunan sekolahnya sendiri juga.
Staf
pengajar pertama yang dapat dikatakan sebagai peletak dasar PTIK adalah para
Guru Besar dan dosen di Mertoyudan, antara lain Prof.Dr.Mr.Soepomo,
Prof.Mr.Soenario Kolopaking, Prof.Mr.Djoko Soetono, Prof.Dr.Prijono, R.M
Soekanto, Kihajar Dewantara, Gamino dan Broto Murdokusumo.
Tanggal
9 Februari 1947 ditetapkan susunan Guru Besar yang diketuai Profesor Soepomo
dan Soebarkah sebagai Sekretaris. Bulan Mei 1947 disahkan Peraturan Dasar
(Statuta) Akademi Polisi dan dengan SK Kepala Kepolisian Negara diangkat Dewan
Kurator. Ketua Dean Kurator adalah Sultan Hamengkubuwono IX, dengan anggota
Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, Gubernur Jawa Tengah
Mr.Wongsonegoro.
Bulan
September 1946 perguruan tinggi itu dipindahkan dari Mertoyudan ke Yogyakarta,
semata-mata untuk mengatasi masalah akomodasi. Mulanya kuliah di kantor
sekretariat di kepatihan, namun kemudian para mahasiswa dapat meminjam sekolah
Katolik Tarakanita, berlokasi di kawasan Secodiningratan, Yogya. Para dosen dan
Guru Besar dijemput mahasiswa dengan mobil atau sepeda motor yang disediakan.
Sejak
Agresi Militer Belanda I maka kuliah terhenti. Para mahasiswa yang sedang
berlibur harus menjalankan dinas kepolisian, bahkan dalam membela kemerdekaan
negara yang terancam dimanapun berada. Para mahasiswa juga ikut menumpas
pasukan-pasukan komunis yang melakukan kudeta PKI-Muso di Madiun bulan
September 1948.
Di
Jakarta para mahasiswa juga harus mencari gedung tempat mereka kuliah. Selama
satu setengah bulan mereka memakai sebuah gedung sekolah di jalan Marsekal,
Manggarai, akhirnya ditemukan gedung yang disebut kamp Adek, di jalan Tambak 2.
Gedung tersebut semula adalah tempat penampungan orang Belanda yang akan
dipulangkan ke negerinya, berhubung tak ada lagi Belanda gedung tersebut pun
kosong, maka dipakai sebagai tempat kuliah sejak April 1950.
Dalam
rapat gabungan antara Dewan Kurator dengan Jawatan Kepolisian 4 Juli 1950 maka
nama Kademi Polisi diganti menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK),
Hoegeng sendiri ikut menciptakan lambang PTIK.
Pada
tahun 1952 Hoegeng diwisuda bersama limabelas orang lainnya yang merupakan
alumni angkatan pertama PTIK yang berhak memakai gelar akademis doktorandus.
Diantara mereka adalah Siswadji (terakhir Letjen Pol), Djoenarso, Mustafa
(Mayjen), Moerhadi (Mayjen), Ostenrijk (Mayjen), Ratna Atmadja (Mayjen),
Mr.Soebroto (Mayjen), sedangkan yang sudah almarhum adalah Bill Mardjaman, Wim
Soemampouw, Katik Soeroso, dan Harsidik.
BAB VII
DARI KAMPUS KE SURABAYA
Setamat
PTIK, pada bulan November 1952, Hoegeng ditugaskan pada jawatan Kepolisian
Propinsi Jawa Timur pimpinan Soekarno Djojonegoro di surabaya. Jabatannya Wakil
Kepala Direktorat DPKN (Dinas Pengawas Keamanan Negara), sedangkan kepala DPKN
nya sendiri adalah KP I (Komisaris Polisi Kelas I) Sarwo. Setelah beberapa
bulan berhubung KP I Sarwo sakit maka Hoegeng diangkat menggantikannya menjadi
kepala DPKN di Komdak Jawa Timur. Pimpinan Hoegeng Soekarno Djojonegoro
memiliki kepribadian yang unik, ia suka memelihara ular tetapi tidak suka
kebathinan, malah bersama perwira-perwira lain ia meresolusi pada Bung Karno
agar RS Soekanto diganti sebab hanya asyik dengan kebathinan, setelah resolusi
para perwira tinggi kepolisian itu diterima, terhitung mulai tanggal 15
Desember 1959 Soekarno Djojonegoro diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara,
kemudian disebut Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Men Pangak),
menggantikan RS Soekanto.
Dari
surabaya Hoegeng ditarik menjadi Kepala Reskrim Komisariat Kepolisian Metro
Jakarta Raya, tetapi belum sempat dilantik ia ditarik ke Mabak dan naik
kedudukan, tapi ia tidak diberi kerja gara-gara diisukan orang “anggota PSI”.
BAB VIII
JUDI, SMOKEL, DAN KORUPSI
Setelah dari Mabak, Hoegeng diangkat menjadi Kadit
Reskrim Kepolisian Sumatra Utara. Organisasi Bagian Reskrim Kepolisian Sumatra
Utara meliputi bagian Umum dengan 15 personil yang menangani kejahatan biasa,
Reserse Ekonomi dengan 15 personil yang menangani kejahatan Ekonomi, Resmob
(Reserse Mobil) 25 personil dan Daktiloskopi 5 personil. Kendaraan 10 Jeep,
tiga pick up, empat sepeda motor, lima motor boat, dilengkapi dengan
tenda-tenda. Sedangkan persenjataannya terdiri dari pistol dan senjata berat.
Kegiatan
Smokel (penyelundupan) sebenarnya bersifat latent, berlangsung antara wilayah
timur pulau sumatra terutama sepanjang Selat Malaka dengan Singapura atau
Penang. Dari sumatera utara diselundupkan minyak nilam dan karet ke singapura,
sedangkan dari singapura diselundupkan barang-barang mewah seperti pesawat
radio, tape rekorder, arloji, dan lain-lain. Kegiatan penyelundupan biasanya
dilakukan oleh orang China dan dalam kasus-kasus tertentu dengan backing oknum
ABRI tertentu, antara lain juga dari kepolisian.
Kegiatan
perjudian umumnya dimodali dan diselenggarakan tauke-tauke China namun
dilindungi (dibacking) oleh oknum-oknum ABRI tertentu. Hal serupa juga terjadi
dalam usaha-usaha pelacuran! Adalah kenyataan, bahwa apabila ada pelaku smokel
dan perjudian tertangkap, maka usut punya usut dibelakangnya selalu bermain
modal dan tauke China. Selama bertugas di medan banyak kasus-kasus korupsi,
smokel, perjudian yang diselesaikan oleh Hoegeng. Setelah dari Medan kemudian
Hoegeng dipindahkan ke Komisariat Kepolisian Jakarta Raya memimpin Direktorat
Reskrim.
BAB IX
PANGGILAN NASUTION
Suatu
hari di bulan Januari 1960 Hoegeng dipanggil Menko Keamanan Nasional/ Panglima
Angkatan Bersenjata, Jenderal A.H Hasution, agar menghadap. Kantornya di jalan
Merdeka Barat, kepadanya ditanyakan apakah bersedia ditempatkan menjadi Kepala
Jawatan Imigrasi. Kemudian Hoegeng menjawab bahwa ia bersedia ditempatkan
dimana saja. Belakangan diketahui bahwa di tubuh jawatan imigrasi saai itu
tidak sehat suasana kerjanya dan dibutuhkan seorang pimpinan yang tegas, dan
berkat usulan dari orang imigrasi nama Hoegeng diusulkan.
Pelantikan dan
penyumpahan menjadi Menteri Yuran Negara, 19 Juni 1965
Tanggal
19 Januari 1961 Hoegeng diangkat menjadi Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia oleh
Menko Nasution. Jawatan imigrasi merupakan unsur Departemen Kehakiman, namun
dalam hal-hal menyangkut security nasional dibawah Hankam.
Dalam
masa jabatannya tidak sedikit hambatan yang dihadapi dalam membenahi Jawatan
Imigrasi. Dengan tangan kanan Wadigda SH, dapatlah ditanamkan secara perlahan
lahan saling pengertian yang lebih baik antara orang-orang imigrasi sendiri.
Selama menjabat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi Hoegeng sendiri tetap mengenakan
seragam kepolisian, karena ia hanya menerima gaji sebagai polisi, dia tidak
memperoleh dan tak mengambil gaji dan fasilitas dari Kantor Imigrasi. Kemudian
setelah menganggap Kantor Imigrasi sudah baik maka pada bulan Juni 1965 dia
mengundurkan diri dari Jawatan Imigrasi yang kemudian Kepala Jawatan Imigrasi
diangkatlah Widigda Sudigman SH, yakni orang imigrasi sendiri.
Pada
suatu hatri di bulan Juni 1965 Hoegeng mendapat telepon dari salah seorang
pembantu Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang saat itu menjabat Menteri, isinya
agar ia diminta datang ke rumah Sultan di Yogyakarta. Dalam pembicaraan dengan
Sri Sultan Hamengkubuwono IX diperoleh informasi bahwa Hoegeng akan diangkat
menjadi Menteri Iuran Negara. Dan memang benar pada tanggal 19 Juni 1965 Bung
Karno melantik “Kabinet Seratus Menteri” dimana Hoegeng menjadi Menteri Iuran
Negara. Kemudian pada Kabinet Dwikora Hoegeng kembali menjabat sebagai Menteri
Sekretaris Kabinet Inti.
BAB X
KEMBALI KE KEPOLISIAN
Pada bulan Juni 1966 ada telepon dari Men Pangak
Jenderal Pol. Sutjipto Joedodiharjo, intinya Men Pangak mengatakan bahwa ia
membutuhkan orang-orang seperti Hoegeng sebagai tangan kanannya dan menawarkan
kepada Hoegeng apakah mau kembali ke Jawatan kepolisian. Setelah itu Sutjipto
menghadap Bung Karno dan meminta Hoegeng agar ditugaskan kembali di Jawatan
Kepolisian sebagai Deputy Men Pangak Bagian Operasi. Maka atas ijin dari Bung
Karno Hoegeng setuju untuk kembali ke jawatan kepolisian. Tiga hari kemudian ia
dipanggil Pak Harto yang saat itu menjabat sebagai Menko Hankam disamping Ketua
Presidium Kabinet, Soeharto membriefingnya dalam kaitan dengan tugas-tugas
pemulihan keamanan dan ketertiban, berhubung Hoegeng akan diangkat sebagai
Deputy Men Pangak maka Pak Harto meminta agar Hoegeng melanjutkan pembersihan
orang-orang PKI di dalam tubuh kepolisian Indonesia. Tiga hari kemudian tanggal
3 Agustus 1966, keluar SK Presiden yang memberhentikan Hoegeng dari jabatan Sekretaris
Kabinet Inti dan mengangkatnya sebagai Deputy Menteri Muda Panglima Angkatan
Kepolisian Urusan Operasi.
Tanggal
1 Mei 1968 Hoegeng dinaikkan pangkatnya menjadi Komisaris Jenderal Polisi,
berbintang tiga. Dua minggu kemudian berhubung Men Pangak Soetjipto
mengundurkan diri maka di Mabak Kebayoran Baru, tanggal 15 Mei 1968 Hoegeng
dilantik menjadi Panglima Angkatan Kepolisian RI dengan Inspektur Upacara
Jenderal Soeharto, sedangkan Wakil Men Pangak adalah Tengku Azis.
Strategi
kepolisian Indonesia tercermin dari briefing dan dialog Pj.Presiden Soeharto di
cendana kepada Hoegeng dan Tengku Azis sebelum mereka memangku jabatan Kapolri
dan Wakapolri. Pertama-tama adalah bahwa kepolisian Indonesia kembali ke fungsi
pokok kepolisian, tidak mencampuri urusan angkatan lain di jajaran ABRI, tetapi
saat itu Hoegeng juga meminta agar angkatan lain tidak mencampuri urusan
kepolisian. Hal tersebut juga ditegaskan statement Pj. Presiden Soeharto dalam
pidato Kenegaraan pada peringatan Hari Bhayangkara 1 Juli 1968 sebagai statemen
politik pemerintah kepada masyarakat Indonesia bahwa “Polri kembali kepada
fungsinya”. Berkaitan dengan hal tersebut inilah statemen Hoegeng selaku
Kapolri dalam pidato Hari Bhayangkara yang sama lewat TVRI, antara lain bahwa :
“Kembali kepada fungsinya sendiri seperti
yang telah diserukan oleh Presiden dalam tahap pembangunan sekarang memang pada
hakekatnya menjadi kehendak waktu, oleh karena dengan memenuhi tugas sesuai
fungsinya masing-masing, secara langsung sudah menciptakan suasana yang
favourable bagi pembangunan. Favourable karena masing-masing aparatur yang telah
sadar akan tugas dan kewajibannya sesuai dengan fungsi dan wewenang
sendiri-sendiri tanpa mencampuri urusan aparatur-aparatur lain, baik dalam
tugas, organisasi, status maupun soal-soal intern lainnya mengakibatkan tidak
adanya kesimpangsiuran di dalam prosedur penyelenggaraan. Kembali kepada fungsi
sendiri bagi AKRI harus ditafsirkan agar kepada AKRI diberikan kesempatan
sepenuhnya untuk menjalankan apa yang mutlak wajib dilaksanakan sebagai penegak
hukum dan inti penyelenggaraan Kamtibmas, untuk mana baginya perlu peningkatan
kemampuan dalam bidang pengusutan perkara-perkara dan pemberian public service
polisionil.....”
Strategib
tersebut diperkuat dengan hal-hal kecil tetapi amat berarti seperti :
Pertama, istilah Angkatan Kepolisian Republik
Indonesia (AKRI) diganti dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Kedua, istilah Menteri/Panglima Angkatan
Kepolisian Republik Indonesia diganti dengan Kepala Kepolisian RI (Kapolri).
Hanya
saja Polri masih berada di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia,
di bawah Menhankam.
Dunia
kepolisian pada waktu dipimpin oleh Hoegeng saat itu mengalami kekurangan
fasilitas sebagaimana juga kondisi-kondisi pemerintahan lainnya yang baru saja
keluar dari suasana pemerintahan Orde Lama dimana kondisi perekonomian saat itu
sangat buruk. Langkah-langkah pokok yang diambil Hoegeng pada saat menjadi
Kapolri adalah menegakkan kembali citra polisi di tengah masyarakat Indonesia,
sehingga masyarakat simpati kepadanya.
Kegiatan Pak Hoegeng sewaktu menjabat Kapolri
BAB XI
KECINTAAN TERHADAP TUGAS
Berada di pucuk pimpinan kepolisian, dengan
sendirinya membuat Hoegeng semakin menginsafi hakikat dan tanggung jawab
seorang polisi.
Pagi-pagi
benar ia sudah meninggalkan rumah, ia sudah berada di kantor di Markas Besar
Angkatan Kepolisian (Mabak) Jalan Trunajaya 3-Kebayoran Baru, sebelum pukul
07.00, biasanya ia lebih dulu masuk kantor daripada staf dan bawahannya. Dia
pulang dari kantor lebih lambat, biasanya setelah lewat pukul 14.00, ketika
umumnya yang lain sudah meninggalkan kantor, ia tidak segan-segan untuk turun
langsung ke jalanan mengatur Lalu Lintas dengan memakai seragam dinas Kapolri,
karena ia sadar betul bahwa pada dasarnya seorang polisi adalah pelayan
masyarakat untuk menegakkan ketertiban dan keamanan umum setiap saat, dimanapun
ia berada.
Dia
memiliki persepsi tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab sebagai
polisi untuk menghadirkan rasa tenteram dalam diri masyarakat dengan hadirnya
polisi ditengah-tengah masyarakat. Dengan berpegang pada hal tersebut ia
memulai menegakkan citra ideal seorang polisi dari dirinya sendiri, dimana ia
menampilkan citra seorang komandan polisi yang baik. Sebagai komandan polisi di
Indonesia saat itu Hoegeng termasuk salah seorang VIP yang tumahnya berhak
mendapatkan pengamanan khusus dan pengawal, namun ia menolaknya. Ia berpikiran
penting untuk menimbulkan kesan bahwa rumah seorang polisi seperti dirinya
adalah tempat mengadu masyarakat, dia tak ingin rumahnya tampak angker, atau
membuat risi (segan) orang yang ingin datang. Demikianlah kesederhanaan dari
seorang Hoegeng.
Aktif dalam Musik Hawaiian-
Bersama keluarga
BAB XII
PENUTUP
Sepucuk surat dinas diterima Hoegeng di meja
kerjanya, isinya suatu pemberitaan yang ganjil, yaitu agar Hoegeng tidak
“berkecil hati” atas penujukannya sebagai Duta Besar di salah satu negara
penting di Eropa barat, yaitu kerajaan Belgia. Ganjil sebab masa jabatannya
sebagai Kapolri belumlah habis.
Benar
juga, Adam Malik, Menteri Luar Negeri RI saat itu yang beberapa hari sebelumnya
meneleponnya dan meminta waktu untuk ngomong-ngomong. Dalam pembicaraan dengan
Adam Malik diketahui bahwa ia dipanggil oleh Menhankam Jenderal M.Panggabean
yang mengusulkan Hoegeng menjadi Duta Besar. Kemudian selanjutnya Hoegeng
menemui Menhankam Jenderal M. Panggabean di rumahnya di jalan Teuku Umar.
Sepantasnya memang Hoegeng meminta penjelasan tentang tawaran jabatan baru yang
dipercayakan Presiden kepada dirinya.
Dari Panggabean dia mendapat keterangan, bahwa
tawaran menjadi Dubes diajukan karena kedudukannya sebagai Kapolri akan
ditempati orang lain, tetapi tidak dijelaskan kenapa dia harus diganti yang
lain sementara masa jabatannya belum habis. Maka kepada Menhankam Panggabean
Hoegeng menolak untuk menjadi Dubes dan bersedia ditugaskan dimana saja di
dalam negeri, namun jawaban dari Panggabean bahwa di dalam negeri sudah tidak
ada lagi pos untuk Jenderal berbintang empat, yang kemudian dijawab oleh
Hoegeng apabila memang tidak ada lagi jabatan buat dirinya di dalam negeri maka
ia memilih untuk keluar saja. Pendirian yang sama juga dikemukakan oleh Hoegeng
ketika ia dipanggil oleh Presiden Soeharto berkenaan dengan pengusulan dirinya
menjadi Duta Besar, secara tegas ia menolaknya.
Proses
selanjutnya adalah timbang terima jabatan di Markas Besar Kepolisian (Mabak),
Jalan Truojoyo 3, Kebayoran Baru, dengan Inspektur Upacara Presiden Soeharto
dari Jenderal Pol Hoegeng Iman Santoso kepada Jenderal Pol M.Hasan. Semua
barang-barang inventaris Mabak dikembalikannya ke Mabak, kecuali rumah. Jadi
mulai dari walkie talkie, peralatan radio, mobil, dan sebagainya diserahkannya.
Selepas dari jabatan Kapolri perlu diketahui bahwa
Pak Hoegeng tidak mempunyai apa-apa. Hoegeng Iman Santoso merupakan seorang
polisi yang ideal dan jujur yang patut dicontoh oleh generasi polisi sekarang
ini.
Fhoto-fhoto pada saat Serah
Terima Kapolri (atas) ; Pose bersama Keluarga(bawah)
Sebagai
penutup saya sampaikan penghormatan yang sebesar-besarnya dengan setulus hati
kepada alm Hoegeng Iman Santoso, semoga apa yang telah ditorehkannya kepada
institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dijadikan suri tauladan
dan sesuatu yang sangat berharga bagi kita semua generasi penerus Polri, semoga
Tuhan Yang maha Esa menerima segala amal kebaikannya dan arwahnya diterima di
sisinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abrar Yusra,
Ramadhan KH.1994, HOEGENG Polisi Idaman
Dan Kenyataan,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Aris Santoso,Ery
Sutrisno,dkk. juli 2004, PAK HOEGENG
Polisi Profesional dan Bermartabat, Jakarta, Adrianus Noe Center.
DR.Adrianus
Meliala, 2004, Hoegeng, POLRI dan
Kriminalitas Era 70-an, Jakarta, Adrianus Noe Center.
Siang pak, anak sedang menyusun skripsi dan kebetulan judul yg diambil anak saya tentang Hoegeng. Anak saya kuliah jurusan Sejarah. Mungkin bapak bisa bantu kasih kontak salah satu keluarga Hoegeng sebagai bahan referensi skripsi anak saya. Terimakasih sebelumnya.
BalasHapus