Kamis, 01 Maret 2012

analisis good governance


ANALISIS GOOD GOVERNANCE TERHADAP KEBIJAKAN PUBLIK POLRI DALAM REFORMASI DAN BIROKRASI POLRI

BAB I
PENDAHULUAN
A.          LATAR BELAKANG
Kenneth Blanchard mengatakan “the key to successful leadership or organization today is influence, not authority”. Kemudian Carles Darwin dikutip oleh  Rheinald Kasali (2006)   mengatakan “bukan yang terkuat yang mampu berumur panjang, melainkan yang paling adaptif”. Kedua pernyataan di atas rasanya tepat untuk menggambarkan tentang keberanian Polri untuk memisahkan diri dari ABRI, merupakan suatu keputusan strategis serta adaptif di tengah derasnya tuntutan masyarakat akan reformasi di segala bidang kehidupan termasuk reformasi di setiap instansi pemerintahan.
Menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan tugas mutlak yang harus diemban oleh Polri disamping sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta selaku penegak hokum (momo kelana: 2002). Dengan tugas pokok yang demikian dan memperhatikan sasaran pengabdian institusi Polri sepenuhnya ditujukan kepada masyarakat maka sudah selayaknya institusi Polri diposisikan sebagai suatu lembaga Publik bukan sebagai suatu lembaga privat.
Melihat posisi Polri sebagai lembaga publik, bukan merupakan hal baru. Mengingat adalah mustahil suatu organisasi kepolisian berbentuk lembaga privat yang bergerak atas dasar kepemilikan individual dan berorientasi pada tercapainya keuntungan optimal bagi pemiliknya (Andrianus Meliala :2002).
Oleh karena itu kebijakan Kapolri selaku pimpinan tertinggi di organisasi Polri bahwa Polri harus community oriented merupakan hal yang tepat, sesuai dengan posisi Polri sebagai lembaga publik. Kebijakan yang dibuat bukan tanpa proses. Dengan memperhatikan permintaan “demands” masyarakat, dukungan “support” masyarakat dan birokrat serta lingkungan “environment” eksternal dan internal organisasi Polri (Leo Agustino: 2006) . Permintaan masyarakat tersebut adalah bentuk rasa aman damai keselamatan dan terjaminnya kepastian berdasarkan hukum, maka lahirlah kebijakan yang semakin memfokuskan Polri selaku pelayan masyarakat di bidang keamanan dan ketertiban serta mengokohkan perspektif Polri sebagai lembaga Publik. Perspektif publik artinya bahwa suatu lembaga publik harus memperhatikan kebutuhan publik. Lembaga publik juga dianggap sebagai representasi kemauan publik untuk mengusahakan tercapainya keseimbangan pada saat terjadi dinamika publik. Selain itu lembaga publik bergerak dalam tataran penyelenggaraan pelayanan kepada publik sebagai wujud dari penjaminan hak-hak konstitusional seluruh warga negara. Dengan demikian, perspektif publik mengenal adanya kontrol publik, sehingga dalam kesehariannya suatu lembaga publik mengemban tanggung jawab (responsibility) kepada publik.
Selain  mengemban fungsi sebagai lembaga publik  yang bertujuan terciptanya rasa aman dan tertib di masyarakat yang menjadi konsep dasar tujuan penyelenggaraan kepolisian, Polri merupakan lembaga yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan hal ini berdasarkan  pasal 2  UU No  2 Tahun 2002, sehingga penyelenggaraan kepolisian harus mewujudkan sebuah     kepemerintahan yang baik ( good governance) yang mensyaratkan diterapkannya prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan diterima oleh masyarakat.
Polri yang telah diposisikan sebagai lembaga publik  yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan dalam bidang keamanan dan ketertiban, apakah sudah cukup dikatakan bahwa Polri sebagai lembaga publik telah melakukan reformasi terkait dengan reformasi administrasi publik dan dapat mewujudkan penyelenggaraan kepemerintahan yang baik          ( good governance),  merupakan pertanyaan yang akan diuraikan melalui tulisan ini.  

BAB II
PEMBAHASAN
A.          POLRI DALAM  MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE
    Reformasi  Polri  dalam bidang struktur, prosedur dan kultur dilakukan sejalan dengan reformasi administrasi negara untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang baik ( good governance). Menurut Sadjijono(2005) hal yang mendasar keterkaitan Polri dengan good governance, pertama, melekatnya fungsi kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, menganyomi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum, kedua,  sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap masyarakat yang diperoleh secara atributif melalui pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dan pasal 2 UU No 2 Tahun 2002. Kedua instrumen hukum tersebut meletakkan kepolisian sebagai lembaga yang mengemban tugas untuk menjaga, memelihara, dan menciptakan keamanan, ketentraman dan ketertiban umum bagi warga negara.
          Implikasi good governance sebagai landasan moral atau etika dalam penyelenggaran kepolisian sebenarnya telah dirumuskan dalam Kode Etik Profesi Kepolisian dan telah diberlakukan bagi setiap anggota kepolisian melalui Peraturan Kapolri No.Pol: 7 tahun 2006  tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri yang mencakup tentang etika kepribadian, etika kelembagaan, etika kenegaraan dan etika dalam hubungan dengan masyarakat.
Kode Etik Kepolisian tersebut untuk dipedomani bagi setiap anggota Polri dalam menjalankan tugas dan wewenang kepolisian, Kode Etik ini merupakan landasan etika moral yang bersumber dan berpijak pada good governance dalam menjalankan pemerintahan.
Secara filosofis pemberlakuan Kode Etik Kepolisian merupakan suatu cita-cita dan keinginan untuk mewujudkan kepolisian yang bersih dan baik dalam rangka mewujudkan good governance. Permasalahannya mengapa Kode Etik Kepolisian telah diberlakukan tetapi masih banyak ditemukan penyalahgunaan wewenang, kekerasan dalam penyelenggaraan tugas kepolisian?. Hal ini dapat dijawab dengan menggali sejauh mana tingkat kesadaran dan moralitas anggota Polri dalam menjalankan wewenang yang diamanatkan oleh masyarakat melaui Undang-undang. Hal yang mendasar dapat dicermati karena belum adanya pemahaman yang dalam bagi Polri tentang fungsi yang diembannya yakni harus berorientasi kepada masyarakat (public oriented) yang dilayani.
Sebagai contoh salah satu kebijakan Polri dalam rangka reformasi birokrasi Polri adalah Program Quick Wins. Dalam program ini dibahas tentang sub-sub program yang antara lain :

1.      Quick respons
2.      Transparansi penyidikan\
3.      Transparansi SSB
4.      Transparansi rekruitment anggota Polri.
Ke empat sub program atau kebijaksanaan ini menurut saya telah memenuhi syarat-syarat terciptanya konsep Good Governance. Seperti kita ketahui syarat- syarat tersebut adalah partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efektivitas, serta memperlakukan semua sama. Dalam transparansi penyidikan, dijelaskan bahwa proses penyidikan dapat diketahui oleh korban. Artinya  korban berhak mengetahui sejauh mana proses penyidikan tentang permasalahan yang ia laporkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung maksud saya adalah langsung menanyakan perkembangan peyidikan kepada penyidik yang bersangkutan, sedangkan secara tidak langsung adalah dengan menerima adanya surat dari penyidik yang disebut SP2HP yang wajib dikirimkan dari penyidik kepada korban selama proses penyidikan.  Hal ini juga berlaku kepada sub-sub program yang lain yang ada di dalam program Quick Wins yang pada intinya ingin memberikan masyarakat kemanan, kenyamanan serta keadilan dengan perlakuan yang sama
Bagaimana mengukur kinerja Polri tentunya ukuran yang paling mudah dipahami adalah terwujudnya rasa aman masyarakat, orang-orang boleh merumuskan dengan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan namun rasa aman ini bersifat universal yang harus diwujudkan dan dipelihara oleh Polri. Bibit S Rianto (2005) mengatakan bahwa rasa aman masyarakat memiliki 4 (empat) unsur atau komponen pendukungnya yaitu : terwujudnya kedamaian (peace), terwujudnya keamanan (secure), terwujudnya keselamatan (safety), terwujudnya kepastian hukum didalam kehidupan masyarakat. Masing-masing unsur tersebut dapat di jelaskan sebgai berikut :
1). Kedamaian ( peace)
Kedamaian ( Peace ) akan terwujudkan manakala di dalam masyarakat terdapat ketertiban dan ketenteraman, sementara itu ketertiban akan terwujud manakala terdapat hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi) yang harmonis, misalnya antar pedagang asongan dengan pengendara mobil di perempatan jalan, Masyarakat pengemudi mobil di Semarang  menghindari perempatan jalan dekat java mall yang banyak pedagang asongannya pada saat dini hari, karena ada kemungkinan dan sering disiarkan di Koran di perempatan jalan tersebut pedagang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi perampok  dengan sasaran perampasan handphone dan uang. Terjadilah ketidakteriban disini, hal ini tidak terjadi apabila ada polisi yang hadir disana, jadi melalui pemeliharaan ketertiban polisi bisa menjaga kedamaian. Masalah ketertiban tidak hanya di jalan raya, tetapi juga di tempat pengumpulan massa seperti gedung bioskop, mall, sekolah, universitas, pasar, perumahan, kantor dan sebagainya yang biasa disebut Police Hazards.
Ciri kedua adanya kedamaian dengan adanya perasaan tentram yang dimiliki setiap warga masyarakat, tanpa harus takut berpergian malam hari, tanpa harus tidak masuk kantor karena ada issue, demontstrasi massa besar-besaran. Mereka merasa tenteram karena mereka yakin tidak akan ada kejadian apapun karena polisi siap menghadapi setiap ketidaktertiban sosial. Ketenteraman adalah intrapersonal (perasaan yang ada di dalam pribadi seseorang) memang rasa tentram ini berbeda antara satu orang dengan orang lainnya, berbeda pula tempat yang satu dengan lainnya.
Dengan demikian ketentraman akan terwujud manakala ketertiban di  dipelihara bersama diantara warga masyarakat dimana warga masyarakat mematuhi norma-norma yang berlaku, sehingga timbul kedamain didalam kehidupan masyarakat.  
2). Keamanan (security)
Keamanan (security) akan terwujud manakala terdapat upaya mengantipasi kerawanan yang dapat menyebabkan timbulnya kejahatan atau permasalahan melalui penempatan petugas (satuan pengaman, polisi, tukang parkir, dan sebagainya) atau peralatan (alarm system, Circuit tv, dan sebagainya). Lebih jauh pengkondisian suatu kawasan tertentu dengan upaya pencegahan tingkat pertama (primary crime prevention) melalui pembuatan desain fisik lengkungan sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan terjadi kejahatan, kalaupun terjadi (kecolongan) pelakunya cepat tertangkap, serta pengkondisian lingkungan social seperti memelihara kohesi sosial sedemikian rupa sehingga akrab satu sama lain, tidak memungkinkan kehadiran orang asing tanpa dikenali lingkungan sosial setempat, yang berarti tidak memberi peluang terjadinya kejahatan yang dilakukan orang lain (asing).
Upaya demikian di Indonesia dikenal dengan upaya pengamanan swakarsa. Pamswakarsa dibentuk dan dilaksanakan oleh dan untuk masyarakat sendiri, sedangkan polisi hanya bertindak sebagai fasilitator bagi warga masyarakat untuk mengamankan diri dan dilingkungannya, termasuk melatih satuan pengamanan dan sebagainya. Di tubuh Polri Fungsi bimmas kepolisian yang berperan untuk melatih satuan pengamanan swakarsa dan di bina secara berkesinambungan oleh petugas Polmas di setiap daerah.  
3). Keselamatan (safety).
Keselamatan (safety) akan terwujud apabila orang-orang mematuhi ketentuan atau prosedur keselamatan pada suatu lingkungan atau suatu kegiatan / pekerjaan tertentu, seperti orang-orang mengendarai sepeda motor dengan menggunakan helm, mengemudikan kendaraan dijalan raya menggunakan sabuk keselamatan, pekerjaan digedung bertingkat menggunakan jaring pengaman, penumpang perahu, kapal pesawat terbang disiapkan baju pelampung, ditempat – tempat fasilitas umum disiapkan pemadam kebakaran dan escape door dan sebagainya yang kesemuanya itu disiapkan untuk menyelamatkan warga masyarakat yang berada disitu.
Ketentuan tentang keselamatan ini harus dimengerti dan dipahami benar oleh setiap orang yang terlibat atau ditugasi untuk itu, disiapkan peralatan keselamatan yang benar-benar dimengerti penggunanya dan dicek kondisinya, sehingga pada saat dibutuhkan dapat digunakan menyelamatkan orang-orang yang berada disitu. Masalah keselamatan ini nampaknya kurang mendapatkan perhatian serius oleh masyarakat, oleh sebab itu polisi harus lebih tanggap dan korek  seperti  mengecek di dalam perahu yang akan berlayar memuat puluhan, ratusan penumpang yang akan menyeberangi laut apakah ada pelampungnya apa tidak dan sebagainya.  
4). Kepastian Hukum (surety)
Kepastian Hukum (surety), merupakan suatau keadaan dimana warga masyarakat mendapat jaminan suatu kepastian untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana diatur dalam hukum atau undang-undang. Kepastian hukum memiliki 2 (dua) macam keadaan yaitu kepastian didalam hukum dan kepastian karena hukum (DPM Sitompul : 2007).  
Dalam penegakan hukum Polri melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara pidana berpegang pada etika profesi kepolisian ( kode etik profesi), bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma lain yakni norma agama, kesopanan dan kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Menurut Sadjijono (2005) bahwa segala tindakan kepolisian harus berpedoman pada asas legalitas yang berarti sahnya tindakan kepolisian harus memenuhi syarat :

  1. Tidak bertentangan dengan peraturan undang-undang.
  2. Tindakan dilakukan untuk memelihara ketertiban, ketentraman dan keamanan umum.
  3. Tindakan dilakukan untuk melindungi hak-hak seseorang.
  4. Bersikap adil tidak memihak, jujur dan obyektif serta memiliki kemampuan legal reasoning yang tinggi.
  5. Harus berpegang pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.

BAB III
KESIMPULAN
          Kebijakan Polri dalam melakukan reformasi birokrasi setelah dianalisis melalui konsep pemerintahan yang baik (good governance) sudah memenuhi unsur-unsur atau prinsip-prinsip yang ada dalam konsep pemerintahan yang baik (good governance). Implikasi good governance sebagai landasan moral atau etika dalam penyelenggaran kepolisian sebenarnya telah dirumuskan dalam Kode Etik Profesi Kepolisian dan telah diberlakukan bagi setiap anggota kepolisian melalui Peraturan Kapolri No.Pol: 7 tahun 2006  tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode Etik Profesi Polri yang mencakup tentang etika kepribadian, etika kelembagaan, etika kenegaraan dan etika dalam hubungan dengan masyarakat dimana syarat-syarat terpenuhnya Good Governance seperti partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efektivitas, serta memperlakukan semua sama telah diatur dalam kode etik profesi Polri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar