ANALISIS GOOD GOVERNANCE TERHADAP KEBIJAKAN PUBLIK POLRI DALAM
REFORMASI DAN BIROKRASI POLRI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Kenneth Blanchard mengatakan “the
key to successful leadership or organization today is influence, not authority”.
Kemudian Carles Darwin dikutip oleh Rheinald Kasali (2006)
mengatakan “bukan yang terkuat yang mampu berumur panjang, melainkan
yang paling adaptif”. Kedua pernyataan di atas rasanya tepat untuk
menggambarkan tentang keberanian Polri untuk memisahkan diri dari ABRI,
merupakan suatu keputusan strategis serta adaptif di tengah derasnya tuntutan
masyarakat akan reformasi di segala bidang kehidupan termasuk reformasi di
setiap instansi pemerintahan.
Menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat merupakan tugas mutlak yang harus diemban oleh Polri disamping
sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta selaku penegak hokum
(momo kelana: 2002). Dengan tugas pokok yang demikian dan memperhatikan sasaran
pengabdian institusi Polri sepenuhnya ditujukan kepada masyarakat maka sudah
selayaknya institusi Polri diposisikan sebagai suatu lembaga Publik bukan
sebagai suatu lembaga privat.
Melihat posisi Polri sebagai lembaga
publik, bukan merupakan hal baru. Mengingat adalah mustahil suatu organisasi
kepolisian berbentuk lembaga privat yang bergerak atas dasar kepemilikan
individual dan berorientasi pada tercapainya keuntungan optimal bagi pemiliknya
(Andrianus Meliala :2002).
Oleh karena itu kebijakan Kapolri
selaku pimpinan tertinggi di organisasi Polri bahwa Polri harus community
oriented merupakan hal yang tepat, sesuai dengan posisi Polri sebagai
lembaga publik. Kebijakan yang dibuat bukan tanpa proses. Dengan memperhatikan
permintaan “demands” masyarakat, dukungan “support” masyarakat
dan birokrat serta lingkungan “environment” eksternal dan internal
organisasi Polri (Leo Agustino: 2006) . Permintaan masyarakat tersebut adalah
bentuk rasa aman damai keselamatan dan terjaminnya kepastian berdasarkan hukum,
maka lahirlah kebijakan yang semakin memfokuskan Polri selaku pelayan
masyarakat di bidang keamanan dan ketertiban serta mengokohkan perspektif Polri
sebagai lembaga Publik. Perspektif publik artinya bahwa suatu lembaga publik
harus memperhatikan kebutuhan publik. Lembaga publik juga dianggap sebagai
representasi kemauan publik untuk mengusahakan tercapainya keseimbangan pada
saat terjadi dinamika publik. Selain itu lembaga publik bergerak dalam tataran
penyelenggaraan pelayanan kepada publik sebagai wujud dari penjaminan hak-hak
konstitusional seluruh warga negara. Dengan demikian, perspektif publik
mengenal adanya kontrol publik, sehingga dalam kesehariannya suatu lembaga
publik mengemban tanggung jawab (responsibility) kepada publik.
Selain mengemban fungsi
sebagai lembaga publik yang bertujuan terciptanya rasa aman dan tertib di
masyarakat yang menjadi konsep dasar tujuan penyelenggaraan kepolisian, Polri
merupakan lembaga yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan hal ini
berdasarkan pasal 2 UU No 2 Tahun 2002, sehingga
penyelenggaraan kepolisian harus mewujudkan sebuah
kepemerintahan yang baik ( good governance) yang
mensyaratkan diterapkannya prinsip profesionalitas, akuntabilitas,
transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi
hukum dan diterima oleh masyarakat.
Polri yang telah diposisikan sebagai
lembaga publik yang menjalankan salah satu fungsi pemerintahan dalam
bidang keamanan dan ketertiban, apakah sudah cukup dikatakan bahwa Polri
sebagai lembaga publik telah melakukan reformasi terkait dengan reformasi
administrasi publik dan dapat mewujudkan penyelenggaraan kepemerintahan yang
baik ( good governance),
merupakan pertanyaan yang akan diuraikan melalui tulisan ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
POLRI DALAM MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE
Reformasi Polri dalam
bidang struktur, prosedur dan kultur dilakukan sejalan dengan reformasi
administrasi negara untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang baik ( good
governance). Menurut Sadjijono(2005) hal yang mendasar keterkaitan Polri
dengan good governance, pertama,
melekatnya fungsi kepolisian sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat bertugas melindungi, menganyomi dan melayani masyarakat
serta menegakkan hukum, kedua, sebagai salah satu
fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap
masyarakat yang diperoleh secara atributif melalui pasal 30 ayat (4) UUD 1945
dan pasal 2 UU No 2 Tahun 2002. Kedua instrumen hukum tersebut meletakkan
kepolisian sebagai lembaga yang mengemban tugas untuk menjaga, memelihara, dan
menciptakan keamanan, ketentraman dan ketertiban umum bagi warga negara.
Implikasi good governance sebagai landasan
moral atau etika dalam penyelenggaran kepolisian sebenarnya telah dirumuskan
dalam Kode Etik Profesi Kepolisian dan telah diberlakukan bagi setiap anggota
kepolisian melalui Peraturan Kapolri No.Pol: 7 tahun 2006 tanggal 1 Juli
2006 tentang Kode Etik Profesi Polri yang mencakup tentang etika kepribadian,
etika kelembagaan, etika kenegaraan dan etika dalam hubungan dengan masyarakat.
Kode Etik Kepolisian tersebut untuk
dipedomani bagi setiap anggota Polri dalam menjalankan tugas dan wewenang
kepolisian, Kode Etik ini merupakan landasan etika moral yang bersumber dan
berpijak pada good governance dalam menjalankan pemerintahan.
Secara filosofis pemberlakuan Kode
Etik Kepolisian merupakan suatu cita-cita dan keinginan untuk mewujudkan
kepolisian yang bersih dan baik dalam rangka mewujudkan good governance.
Permasalahannya mengapa Kode Etik Kepolisian telah diberlakukan tetapi masih
banyak ditemukan penyalahgunaan wewenang, kekerasan dalam penyelenggaraan tugas
kepolisian?. Hal ini dapat dijawab dengan menggali sejauh mana tingkat
kesadaran dan moralitas anggota Polri dalam menjalankan wewenang yang
diamanatkan oleh masyarakat melaui Undang-undang. Hal yang mendasar dapat
dicermati karena belum adanya pemahaman yang dalam bagi Polri tentang fungsi
yang diembannya yakni harus berorientasi kepada masyarakat (public oriented)
yang dilayani.
Sebagai contoh salah satu kebijakan
Polri dalam rangka reformasi birokrasi Polri adalah Program Quick Wins. Dalam
program ini dibahas tentang sub-sub program yang antara lain :
1.
Quick respons
2.
Transparansi penyidikan\
3.
Transparansi SSB
4.
Transparansi rekruitment anggota Polri.
Ke empat sub program atau kebijaksanaan ini menurut saya telah memenuhi
syarat-syarat terciptanya konsep Good Governance. Seperti kita ketahui syarat- syarat
tersebut adalah partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efektivitas, serta
memperlakukan semua sama. Dalam transparansi penyidikan, dijelaskan bahwa
proses penyidikan dapat diketahui oleh korban. Artinya korban berhak mengetahui sejauh mana proses
penyidikan tentang permasalahan yang ia laporkan baik secara langsung maupun
tidak langsung. Secara langsung maksud saya adalah langsung menanyakan
perkembangan peyidikan kepada penyidik yang bersangkutan, sedangkan secara
tidak langsung adalah dengan menerima adanya surat dari penyidik yang disebut
SP2HP yang wajib dikirimkan dari penyidik kepada korban selama proses
penyidikan. Hal ini juga berlaku kepada
sub-sub program yang lain yang ada di dalam program Quick Wins yang pada
intinya ingin memberikan masyarakat kemanan, kenyamanan serta keadilan dengan
perlakuan yang sama
Bagaimana mengukur kinerja Polri
tentunya ukuran yang paling mudah dipahami adalah terwujudnya rasa aman
masyarakat, orang-orang boleh merumuskan dengan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan
namun rasa aman ini bersifat universal yang harus diwujudkan dan dipelihara
oleh Polri. Bibit S Rianto (2005) mengatakan bahwa rasa aman masyarakat
memiliki 4 (empat) unsur atau komponen pendukungnya yaitu : terwujudnya
kedamaian (peace), terwujudnya keamanan (secure), terwujudnya
keselamatan (safety), terwujudnya kepastian hukum didalam kehidupan
masyarakat. Masing-masing unsur tersebut dapat di jelaskan sebgai berikut :
1). Kedamaian ( peace)
Kedamaian ( Peace ) akan terwujudkan
manakala di dalam masyarakat terdapat ketertiban dan ketenteraman, sementara
itu ketertiban akan terwujud manakala terdapat hubungan interpersonal (hubungan
antar pribadi) yang harmonis, misalnya antar pedagang asongan dengan pengendara
mobil di perempatan jalan, Masyarakat pengemudi mobil di Semarang
menghindari perempatan jalan dekat java mall yang banyak pedagang
asongannya pada saat dini hari, karena ada kemungkinan dan sering disiarkan di
Koran di perempatan jalan tersebut pedagang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi
perampok dengan sasaran perampasan handphone dan uang. Terjadilah
ketidakteriban disini, hal ini tidak terjadi apabila ada polisi yang hadir
disana, jadi melalui pemeliharaan ketertiban polisi bisa menjaga kedamaian.
Masalah ketertiban tidak hanya di jalan raya, tetapi juga di tempat pengumpulan
massa seperti gedung bioskop, mall, sekolah, universitas, pasar, perumahan,
kantor dan sebagainya yang biasa disebut Police Hazards.
Ciri kedua adanya kedamaian dengan
adanya perasaan tentram yang dimiliki setiap warga masyarakat, tanpa harus
takut berpergian malam hari, tanpa harus tidak masuk kantor karena ada issue,
demontstrasi massa besar-besaran. Mereka merasa tenteram karena mereka yakin
tidak akan ada kejadian apapun karena polisi siap menghadapi setiap ketidaktertiban
sosial. Ketenteraman adalah intrapersonal (perasaan yang ada di dalam pribadi
seseorang) memang rasa tentram ini berbeda antara satu orang dengan orang
lainnya, berbeda pula tempat yang satu dengan lainnya.
Dengan demikian ketentraman akan
terwujud manakala ketertiban di dipelihara bersama diantara warga
masyarakat dimana warga masyarakat mematuhi norma-norma yang berlaku, sehingga
timbul kedamain didalam kehidupan masyarakat.
2). Keamanan (security)
Keamanan (security) akan
terwujud manakala terdapat upaya mengantipasi kerawanan yang dapat menyebabkan
timbulnya kejahatan atau permasalahan melalui penempatan petugas (satuan
pengaman, polisi, tukang parkir, dan sebagainya) atau peralatan (alarm system,
Circuit tv, dan sebagainya). Lebih jauh pengkondisian suatu kawasan tertentu
dengan upaya pencegahan tingkat pertama (primary crime prevention)
melalui pembuatan desain fisik lengkungan sedemikian rupa sehingga tidak
memungkinkan terjadi kejahatan, kalaupun terjadi (kecolongan) pelakunya
cepat tertangkap, serta pengkondisian lingkungan social seperti memelihara
kohesi sosial sedemikian rupa sehingga akrab satu sama lain, tidak memungkinkan
kehadiran orang asing tanpa dikenali lingkungan sosial setempat, yang berarti
tidak memberi peluang terjadinya kejahatan yang dilakukan orang lain (asing).
Upaya demikian di Indonesia dikenal
dengan upaya pengamanan swakarsa. Pamswakarsa dibentuk dan dilaksanakan oleh
dan untuk masyarakat sendiri, sedangkan polisi hanya bertindak sebagai
fasilitator bagi warga masyarakat untuk mengamankan diri dan dilingkungannya,
termasuk melatih satuan pengamanan dan sebagainya. Di tubuh Polri Fungsi bimmas
kepolisian yang berperan untuk melatih satuan pengamanan swakarsa dan di bina
secara berkesinambungan oleh petugas Polmas di setiap daerah.
3). Keselamatan (safety).
Keselamatan (safety) akan
terwujud apabila orang-orang mematuhi ketentuan atau prosedur keselamatan pada
suatu lingkungan atau suatu kegiatan / pekerjaan tertentu, seperti orang-orang
mengendarai sepeda motor dengan menggunakan helm, mengemudikan kendaraan
dijalan raya menggunakan sabuk keselamatan, pekerjaan digedung bertingkat
menggunakan jaring pengaman, penumpang perahu, kapal pesawat terbang disiapkan
baju pelampung, ditempat – tempat fasilitas umum disiapkan pemadam kebakaran
dan escape door dan sebagainya yang kesemuanya itu disiapkan untuk
menyelamatkan warga masyarakat yang berada disitu.
Ketentuan tentang keselamatan ini
harus dimengerti dan dipahami benar oleh setiap orang yang terlibat atau
ditugasi untuk itu, disiapkan peralatan keselamatan yang benar-benar dimengerti
penggunanya dan dicek kondisinya, sehingga pada saat dibutuhkan dapat digunakan
menyelamatkan orang-orang yang berada disitu. Masalah keselamatan ini nampaknya
kurang mendapatkan perhatian serius oleh masyarakat, oleh sebab itu polisi
harus lebih tanggap dan korek seperti mengecek di dalam perahu yang
akan berlayar memuat puluhan, ratusan penumpang yang akan menyeberangi laut
apakah ada pelampungnya apa tidak dan sebagainya.
4). Kepastian Hukum (surety)
Kepastian Hukum (surety),
merupakan suatau keadaan dimana warga masyarakat mendapat jaminan suatu
kepastian untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana diatur dalam
hukum atau undang-undang. Kepastian hukum memiliki 2 (dua) macam keadaan yaitu
kepastian didalam hukum dan kepastian karena hukum (DPM Sitompul : 2007).
Dalam penegakan hukum Polri
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara pidana berpegang pada
etika profesi kepolisian ( kode etik profesi), bertindak berdasarkan norma
hukum dan mengindahkan norma lain yakni norma agama, kesopanan dan kesusilaan
serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Menurut Sadjijono (2005) bahwa
segala tindakan kepolisian harus berpedoman pada asas legalitas yang berarti
sahnya tindakan kepolisian harus memenuhi syarat :
- Tidak bertentangan dengan peraturan undang-undang.
- Tindakan dilakukan untuk memelihara ketertiban, ketentraman dan keamanan umum.
- Tindakan dilakukan untuk melindungi hak-hak seseorang.
- Bersikap adil tidak memihak, jujur dan obyektif serta memiliki kemampuan legal reasoning yang tinggi.
- Harus berpegang pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.
BAB III
KESIMPULAN
Kebijakan
Polri dalam melakukan reformasi birokrasi setelah dianalisis melalui konsep
pemerintahan yang baik (good governance) sudah memenuhi unsur-unsur atau
prinsip-prinsip yang ada dalam konsep pemerintahan yang baik (good governance).
Implikasi good governance sebagai landasan moral atau etika dalam
penyelenggaran kepolisian sebenarnya telah dirumuskan dalam Kode Etik Profesi
Kepolisian dan telah diberlakukan bagi setiap anggota kepolisian melalui
Peraturan Kapolri No.Pol: 7 tahun 2006 tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode
Etik Profesi Polri yang mencakup tentang etika kepribadian, etika kelembagaan,
etika kenegaraan dan etika dalam hubungan dengan masyarakat dimana
syarat-syarat terpenuhnya Good Governance seperti partisipasi, transparansi, akuntabilitas,
efektivitas, serta memperlakukan semua sama telah diatur dalam kode etik
profesi Polri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar