Minggu, 11 Maret 2012

PENGEMBANG SUMBER DAYA MANUSIA POLRI DALAM RANGKA MEWUJUDKAN ANGGOTA RESERSE YANG PROFESIONAL


PENGEMBANG SUMBER DAYA MANUSIA POLRI
DALAM RANGKA MEWUJUDKAN
 ANGGOTA RESERSE YANG PROFESIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Gerakan reformasi tahun 1998 memberikan dampak perubahan yang sangat besar terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia, Seiring dengan tuntutan masyarakat dengan adanya reformasi, maka memunculkan koreksi terhadap penyelenggaraan negara termasuk juga peran dan fungsi ABRI (TNI – POLRI). Pemerintah melalui Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran Tentara Nasional Indonesia dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya ketetapan MPR tersebut diperkuat dengan diundangkannya Undang Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
            Pada Undang Undang No. 2 Tahun 2002 pasal 13 menyebutkan : Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :
a.    Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b.    Menegakkan hukum, dan
c.    Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Setelah sekian lama dibawah bayang bayang militer termasuk doktrin dan pendidikan yang bersifat militeristik, sungguh usaha kerja keras bagi Polri untuk dapat melaksanakan amanat yang terdapat pada Undang Undang No.2 Tahun 2002, oleh  karena itu kepolisian harus melakukan perubahan besar dalam segala hal, yaitu baik struktural, kultural maupun fungsional.
            Pada tugas pokok ke 2 yaitu mengenai penegakan hukum, hal ini sangat berat dibebankan kepada fungsi reserse, yang di mana masyarakat sangat berharap kepolisian dapat memberikan pelayan terbaik dan keadilan terhadap masyarakat. Oleh karena itu kita harus mempunyai penyidik dan penyidik pembantu yang profesional dan menguasai penyidikan dan juga penyelidikan. Untuk mewujudkan hal tersebut kita harus dapat merubah proses perekutan dan pengawasan seorang anggota kepolisian untuk dapat menjadi penyidik ataupun penyidik pembantu di fungsi reserse. Yang dulu hampir tidak pernah ada dilakukan tes kompetensi untuk mejadi penyidik/penyidik pembantu di reserse. Karena bagaimanapun juga seorang anggota reserse selain bisa melakukan penyidikan juga harus dapat melakukan penyelidikan.
            Berdasarkan uraian di atas, karena penulis backgroundnya seorang anggota reserse, dengan jabatan terakhir kaur binops reskrim polres bone, maka penulis akan menulis tentang bagaimana sebaiknya anggota reserse direkrut dan juga bagaimana pengawasan harus dilakukan terhadap anggota reserse yang disinkronkan dengan pengalamannya pada saat bertugas.

1.2 Pokok Permasalahan
            Berpijak dari uraian di atas, untuk membatasi penulisan agar tidak terlalu meluas, maka penulis hanya membatasi pembahasan masalah tentang :
1.    Bagaimanakah proses perekrutan anggota reserse ?
2.    Bagaimanakah bentuk pengawasan dari seorang kasat reserse dan panwas penyidikan?
3.    Apakah pendidikan dan pelatihan anggota serse berpengaruh pada pengembangan profesionalisme anggota reserse?

1.3 Tujuan penulisan
            Adapun tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah :
-       selain merupakan tugas wajib dari dosen administrasi kepolisian dan juga untuk melatih mahasiswa membuat karya tulis, kita juga dapat mengetahui tentang perubahan kultur dengan adanya Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
-       Selain itu juga mahasiswa dapat mengetahui bahwa harus ada pengawasan dan pendidikan yang baik untuk anggota reserse agar dapat menjadi penyidik atau penyidik pembantu yang profesional.





1.4 Metode Penulisan
            Dalam hal ini penulis menggunakan metode penulisan kepustakaan, selain menggunakan buku buku dari perpustakaan dan buku pelajaran sebagai referensi, karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis juga mencari data data dan informasi dari internet, karena lewat internet informasi dapat cepat, efektif, efisien dan murah untuk mendapatkannya.

1.5 Ruang Lingkup
            Karena keterbatasan waktu dan kemampuan dari penulis, maka penulis membatasi permasalahan hanya dengan membahas tentang bagaimana proses perekrutan anggota reserse, bagaimana pengawasan yang harus dilaksanakan oleh kasat reserse dan panwas penyidikan untuk mengawasi kinerja anggota reserse yang melakukan penyidikan, serta bagaimana pelatihan dan pendidikan yang tepat diterapkan untuk membentuk anggota reserse yang profesional di bidangnya.




















BAB II
PEMBAHASAN

            Mengutip dari tulisan Profesor Awaloedin Djamin dalam bukunya MANAJEMEN OPERASIONAL POLRI (sebagai ukuran keberhasilan) menyatakan “Selain kemahiran di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi di bidang criminal investigation. Reserse juga membutuhkan kemahiran sebagai “seni” berdasarkan pengalaman menjadi : “bakat” dan “indera keenam” dalam melacak penjahat yang buron, dalam interogasi, dalam pengenalan uang palsu dan sebagainya. Polri pernah memiliki reserse kawakan seperti itu.”

2.1 Proses Perekrutan Anggota Reserse
            Disebutkan di atas bahwa anggota reserse selain mahir di bidang criminal investigation tapi juga harus mempunyai kemahiran sebagai “seni” berdasarkan pengalaman menjadi “bakat” dan “indera keenam” dalam pengungkapan kasus Namun dalam prakteknya dilapangan sering perekrutan anggota reserse jarang mempertimbangkan hal diatas, tanpa melalui tes kompetensi seorang anggota kepolisian yang “dekat” dengan pimpinan atau pengambil keputusan dapat langsung masuk menjadi anggota reserse tanpa melihat kemampuan seorang angota kepolisian tersebut.
            Oleh karena itu untuk membentuk anggota reserse yang profesional dalam bidangnya kita harus melakukan ujian kompetensi untuk melakukan perekrutan terhadap anggota yang masuk ke fungsi reserse dengan transparan dan netral, selain untuk mendapat anggota yang mempunyai komitmen dan kemampuan dalam bidang reserse, namun juga menghindari adanya intervensi atau rasa hutang budi dari seorang anggota reserse karena dibantu pada saat masuk menjadi anggota reserse.
            Berdasarkan pengalaman penulis ada 3 hal yang diujikan pada tes kompetensi saat perekrutan anggota reserse :
1.    Tes tertulis yaitu tes mengenai UU No. 2 Tahun 2002, KUHP dan KUHAP
2.    Tes komputer
3.    Tes wawancara
Persyaratan untuk menjadi anggota reserse harus minimal 4 tahun tugas di kepolisian dan tidak ada catatan pelanggarannya, tes tersebut sangat penting karena banyak anggota yang tidak menguasai per UU an yang berhubungan dengan kepolisian dan juga kurang menguasai ketrampilan mengetik di komputer. Dan untuk menjamin kemurnian ujian tes kompetensi, soal ujian harus benar benar dijaga kerahasiaannya dan juga dilakukan anggota provost sebagai pengawas pada saat ujian kompetensi.
            Setelah tes kompetensi selesai dilaksanakan kemudian dirangking, hasilnya diajukan kepada kapolres, kemudian kapolres memanggil para kasat dan kanit provost untuk melakukan wanjak mengenai anggota anggota yang sudah di tes tadi masuk menjadi anggota reserse. Tanpa diduga hal tersebut sangat mendapat respon positif dari anggota anggota yang lain karena hal tersebut dilakukan secara fair kompetisi, bukan karena faktor “menghadap” atau “kenal” dengan dengan pimpinan. Dan sebaiknya untuk perekrutan seorang perwira untuk menjadi kasat serse harus melalui uji kompetensi juga, dengan segala persyaratannya untuk dapat membawa dan memimpin anggotanya secara profesional. Serta agar perekrutan anggota disemua fungsi kepolisian contohnya lalu lintas juga harus dilaksanakan tes kompetensi sesuai profesionalismenya dibidang fungsi masing masing.
            Berdasarkan perekrutan anggota reserse secara kompetensi maka seorang pimpinan harus berani mengganti anggota anggota reserse yang kawakan yang kurang profesional dan kurang produktif kinerjanya dalam pengungkapan kasusnya, sehingga diharapkan dengan anggota reserse yang mempunyai kompetensi dan ketrampilan dan masih muda, diharapkan mempunyai jiwa juang yang tinggi dan tidak mengenal lelah untuk mengungkap suatu kasus.
            Dan diharapkan juga dengan dilakukannya pemilihan anggota reserse secara kompetensi dan juga transparan, maka diharapkan akan mewujudkan anggota yang profesional dan independen dari rasa hutang budi dan atau tekanan tekanan laennya yang dapat mempengaruhi hasil penyidikan. Karena di zaman reformasi Polri dituntut untuk menjadi profesionalisme dalam segala hal terutama dalam hal penegakan hukum, karena masyarakat sekarang semakin pintar dan berani untuk  menuntut hak mereka untuk mendapatkan keadilan, dan kita sebagai aparat penegak hukum harus dapat mewujudkannya.


2.2 Pengawasan dari atasannya dan panwas penyidikan
            Seorang perwira yang menjadi atasan penyidik misalnya seorang kasat serse harus lolos ujian kompetensi dan juga minimal harus berpendidikan sarjana, hal ini dikarenakan agar dia dapat melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap anggotanya, karena sebagai seorang pengambil keputusan dia harus dapat mengambil kebijakan yang tepat agar semua kasus kasus yang ditangani anggotanya dapat dikerjakan sesuai prosedur. Tanpa kemampuan dan ketrampilan yang baik dibidang reserse, seorang kasat serse akan dianggap remeh oleh anggotanya yg kebanyakan lebih lama dan lebih pengalaman di bidang reserse.
            Dengan kemampuan yang dimilikinya seorang kasat serse harus dapat melakukan pengawasan terhadap setiap laporan polisi yang disidik maupun dilidik oleh anggotanya, selain melakukan pengawasan dengan cara mengecek tiap LP yang ditangani oleh penyidik penyidiknya, seorang kasat serse harus mengecek tiap laporan hasil pelaksanaan tugas setiap anggotanya. Dan sejalan dengan adanya bunyi quick wins ketiga yaitu transparansi penyidikan dengan memberikan SP2HP, maka kasat serse harus juga dapat mengontrol anggotanya aktif atau belum memberikan informasi tentang perkembangan kasus yang dilaporkan oleh korban atau pelapor, kasat serse sebelum tanda tangan harus mengecek betul format SP2HP nya untuk mengurangi komplain dari masyarakat.
            Selain menguasai masalah penyidikan dan pengungkapan kasus, dengan adanya DIPA (Daftar Isian Penggunaan Anggaran), kasat serse harus dapat menggunakan anggaran reserse dengan sebaik baiknya untuk menghindari adanya penyelewengan oleh anggota dilapangan, dengan mengecek laporan hasil pelaksanaan tugas yang dilakukan anggotanya dengan bukti pengeluaran mereka untuk pertanggungjawaban anggarannya.
            Selain itu Panwas penyidikan harus aktif untuk melakukan pengawasan terhadap penyidikan yang dilakukan oleh anggota reserse agar tidak terjadi penyimpangan penyimpangan maupun rekayasa kasus. Anggota Panwas haruslah orang orang yang berpengalaman di bidang reserse baik dalam hal administrasi penyidikan maupun dalam hal tindakan reserse di lapangan, bukan orang sembarangan yang diangkat menjadi Panwas penyidikan agar mereka dapat mengkoreksi dan memperbaiki jika ada kesalahan kesalahan yang dilakukan oleh penyidik dalam menangani kasus.
            Agar Panwas dapat efektif mereka itu harus berada diluar struktur penyidik dan dibawah kapolres langsung, karena kalau mereka seorang penyidik juga, maka sulit bagi mereka melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penyidik lainnya karena dia juga konsentrasi dengan kasus yang ditangani, dan mereka dibawah langsung kapolres hal ini untuk menghindari intervensi dari pihak pihak luar, karena penyidikan kasus di reserse rawan adanya intervensi dan juga faktor keluarga,sehingga kadang bisa merekayasa kasus untuk melindungi teman atau keluarganya.
            Terlebih pada saat sekarang reserse sangat mendapat sorotan dari seluruh masyarakat Indonesia dengan adanya sering terjadi rekayasa kasus dan juga karena faktor materi sering terjadi “abuse of power” oleh seorang penyidik dalam menangani suatu kasus, diharapkan adanya Panwas penyidikan dan juga seorang atasan yang mempunyai kredibilitas dapat membimbing dan membina penyidik untuk menjadi penyidik yang handal.

2.3 Pendidikan dan pelatihan anggota serse
            Setelah dilakukan tes kompetensi untuk bisa masuk menjadi anggota reserse dan juga dilakukan pengawasan oleh atasannya dan juga oleh Panwas penyidikan, anggota reserse agar dapat profesional harus mengembangkan dirinya dengan mengikuti pelatihan pelatihan dan pendidikan kejuruan yang diadakan oleh lembaga, selain itu juga harus kulian diluar lembaga untuk mendapatkan sarjana, apalagi dengan adanya wacana tentang penyidik harus SH di dalam RUU KUHAP.
            Pendidikan ataupun pelatihan yang diberikan kepada anggota reserse harus sesuai dengan bidangnya, kalau narkoba khusus diberikan kepada anggota reserse narkoba, atau illegal logging diberikan kepada anggota tipiter sehingga dapat berguna bagi penyidik setelah selesai pelatihan ataupun pendidikan kejuruan sesuai bidang spesialisasinya. Namun dalam beberapa hal banyak pendidikan dan pelatihan reserse justru fungsi lain yang mengikutinya, oleh karena itu bagian personalia diharapkan pada saat menunjuk anggota reserse yang berangkat pendidikan harus koordinasi dulu dengan atasan penggunanya langsung, agar ilmu pelatihannya dapat bermanfaat dan dipraktekkan dalam pelaksanaan tugas anggota di lapangan.
            Untuk mewujudkan anggota reserse yang profesional dan handal, pendidikan dan pelatihan sangat penting untuk diberikan kepada anggota reserse, namun dalam pelaksanaannya bahwa kesempatan anggota reserse yang di daerah daerah terpencil lebih jarang untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan maupun pelatihan, hal itu dikarenakan selain terbatasnya pendidikan yang dilakukan, namun juga kurangnya atau tidak adanya informasi mengenai pendidikan atau pelatihan fungsi reserse sampai keanggota di daerah terpencil. Sehingga sering terjadi ketimpangan kemampuan dan keahlian anggota yang di daerah dan anggota yang dikota tentang pengetahuan penyidikan di fungsi reserse. Diharapkan pihak mabes Polri dapat merubah pola dalam memberikan informasi tentang pelaksanaan diadakannya pendidikan atau pelatihan fungsi fungsi tekhnis, agar seluruh anggota kepolisian di Indonesia dapat mengakses kesempatan tersebut dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelatihan maupun pendidikan kejuruan fungsi tekhnis kepolisian.
            Dan perlunya juga pelatihan dan pendidikan anggota reserse dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi, terutama untuk kepolisian di daerah daerah terpencil, karena dengan semakin berkembangnya tekhnologi yang sangat pesat dan semakin banyaknya modus modus kejahatan baru yang menggunakan tekhnologi informatika dalam melancarkan tindak pidananya, maka perlunya kemampuan anggota reserse di bidang IT, sehingga jika terjadi tindak pidana yang menggunakan tekhnologi anggota dapat mengetahui bagaimana caranya mengamankan TKP, mengamankan barang bukti agar tidak hilang karena dalam bentuk data data elektronik, dan lain lain.
            Pelatihan pelatihan tersebut kiranya harus didukung dengan sarana dan prasarana yang ada dan juga bagaimana cara mempraktekkannya di lapangan, contoh dalam hal tindak pidan bidang cyber crime, yaitu bagaimana mengamankan TKP nya, bagaimana mengamankan BB nya, bagaimana mengamankan data data yang akan dijadikan BB, karena tanpa adanya latihan praktek akan susah untuk menerapkannya di lapangan. Khususnya untuk hal hal yang sifatnya tekhnologi informatika. Karena BB yang dicari berbeda dengan BB tindak kejahatan konvensional yang nyata bentuknya.
            Diharapkan dengan adanya anggota yang mempunyai pengetahuan dan terlatih baik secara teori maupun praktek, maka akan dapat memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat secara profesional. Sehingga penegakan hukum di masyarakat dapat terwujudkan dengan sebaik baiknya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Dalam perekrutan anggota reserse perlunya dilaksanakan ujian kompetensi untuk menghindari adanya budaya “titipan” dan juga KKN dalam perekrutannya.
2. Kompetensi tersebut juga untuk mewujudkan anggota reserse yang terampil dan profesional.
3. Pengawasan dari atasan langsung anggota serse dan juga dari Panwas penyidikan, akan dapat membimbing dan membina anggota reserse agar dalam menangani kasus dapat secara profesional.
4. Adanya pendidikan dan pelatihan tentang reserse serta praktek pelaksanaan pengungkapa kasus tindak pidana reserse akan meningkatkan kemampuan, ketrampilan dan profesionalisme anggota reserse.

3.2 Saran
1.  Perlunya adanya seleksi dan uji kompetensi sebelum anggota tersebut masuk menjadi anggota reserse.
2. Perlunya adanya pengawasan dan  pembinaan dari atasan langsung angggota reserse agar dapat menangani kasus secara profesional.
3. Perlunya adanya pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan untuk membentuk anggota reserse yang profesional.

           
           
           
           

           
           
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA


1.    Awaloedin Djamin, 2009, MANAJEMEN OPERASIONAL POLRI ( SEBAGAI UKURAN KEBERHASILAN)
2.    Republik Indonesia, Undang Undang Republik Indonesia No.2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia.





           

2 komentar: