PENGEMBANG
SUMBER DAYA MANUSIA POLRI
DALAM
RANGKA MEWUJUDKAN
ANGGOTA RESERSE YANG PROFESIONAL
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Gerakan
reformasi tahun 1998 memberikan dampak perubahan yang sangat besar terhadap
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Seiring dengan tuntutan masyarakat dengan
adanya reformasi, maka memunculkan koreksi terhadap penyelenggaraan negara
termasuk juga peran dan fungsi ABRI (TNI – POLRI). Pemerintah melalui Ketetapan
MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran
Tentara Nasional Indonesia dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia,
selanjutnya ketetapan MPR tersebut diperkuat dengan diundangkannya Undang
Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pada
Undang Undang No. 2 Tahun 2002 pasal 13 menyebutkan : Tugas pokok Kepolisian
Negara Republik Indonesia adalah :
a.
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b.
Menegakkan hukum, dan
c.
Memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat.
Setelah sekian lama dibawah bayang bayang
militer termasuk doktrin dan pendidikan yang bersifat militeristik, sungguh
usaha kerja keras bagi Polri untuk dapat melaksanakan amanat yang terdapat pada
Undang Undang No.2 Tahun 2002, oleh
karena itu kepolisian harus melakukan perubahan besar dalam segala hal,
yaitu baik struktural, kultural maupun fungsional.
Pada
tugas pokok ke 2 yaitu mengenai penegakan hukum, hal ini sangat berat
dibebankan kepada fungsi reserse, yang di mana masyarakat sangat berharap
kepolisian dapat memberikan pelayan terbaik dan keadilan terhadap masyarakat. Oleh
karena itu kita harus mempunyai penyidik dan penyidik pembantu yang profesional
dan menguasai penyidikan dan juga penyelidikan. Untuk mewujudkan hal tersebut
kita harus dapat merubah proses perekutan dan pengawasan seorang anggota
kepolisian untuk dapat menjadi penyidik ataupun penyidik pembantu di fungsi
reserse. Yang dulu hampir tidak pernah ada dilakukan tes kompetensi untuk
mejadi penyidik/penyidik pembantu di reserse. Karena bagaimanapun juga seorang
anggota reserse selain bisa melakukan penyidikan juga harus dapat melakukan
penyelidikan.
Berdasarkan
uraian di atas, karena penulis backgroundnya seorang anggota reserse, dengan
jabatan terakhir kaur binops reskrim polres bone, maka penulis akan menulis
tentang bagaimana sebaiknya anggota reserse direkrut dan juga bagaimana
pengawasan harus dilakukan terhadap anggota reserse yang disinkronkan dengan
pengalamannya pada saat bertugas.
1.2
Pokok Permasalahan
Berpijak
dari uraian di atas, untuk membatasi penulisan agar tidak terlalu meluas, maka
penulis hanya membatasi pembahasan masalah tentang :
1.
Bagaimanakah proses perekrutan anggota
reserse ?
2.
Bagaimanakah bentuk pengawasan dari seorang
kasat reserse dan panwas penyidikan?
3.
Apakah pendidikan dan pelatihan anggota serse
berpengaruh pada pengembangan profesionalisme anggota reserse?
1.3
Tujuan penulisan
Adapun tujuan dari penulisan karya
tulis ini adalah :
-
selain merupakan tugas wajib dari dosen
administrasi kepolisian dan juga untuk melatih mahasiswa membuat karya tulis,
kita juga dapat mengetahui tentang perubahan kultur dengan adanya Undang Undang
No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
-
Selain itu juga mahasiswa dapat mengetahui
bahwa harus ada pengawasan dan pendidikan yang baik untuk anggota reserse agar
dapat menjadi penyidik atau penyidik pembantu yang profesional.
1.4 Metode Penulisan
Dalam hal ini penulis menggunakan
metode penulisan kepustakaan, selain menggunakan buku buku dari perpustakaan
dan buku pelajaran sebagai referensi, karena keterbatasan waktu dan kemampuan
penulis juga mencari data data dan informasi dari internet, karena lewat
internet informasi dapat cepat, efektif, efisien dan murah untuk
mendapatkannya.
1.5 Ruang Lingkup
Karena
keterbatasan waktu dan kemampuan dari penulis, maka penulis membatasi
permasalahan hanya dengan membahas tentang bagaimana proses perekrutan anggota
reserse, bagaimana pengawasan yang harus dilaksanakan oleh kasat reserse dan
panwas penyidikan untuk mengawasi kinerja anggota reserse yang melakukan
penyidikan, serta bagaimana pelatihan dan pendidikan yang tepat diterapkan
untuk membentuk anggota reserse yang profesional di bidangnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
Mengutip
dari tulisan Profesor Awaloedin Djamin dalam bukunya MANAJEMEN OPERASIONAL
POLRI (sebagai ukuran keberhasilan) menyatakan “Selain kemahiran di bidang ilmu
pengetahuan dan tekhnologi di bidang criminal investigation. Reserse juga
membutuhkan kemahiran sebagai “seni” berdasarkan pengalaman menjadi : “bakat”
dan “indera keenam” dalam melacak penjahat yang buron, dalam interogasi, dalam
pengenalan uang palsu dan sebagainya. Polri pernah memiliki reserse kawakan
seperti itu.”
2.1
Proses Perekrutan Anggota Reserse
Disebutkan
di atas bahwa anggota reserse selain mahir di bidang criminal investigation
tapi juga harus mempunyai kemahiran sebagai “seni” berdasarkan pengalaman
menjadi “bakat” dan “indera keenam” dalam pengungkapan kasus Namun dalam
prakteknya dilapangan sering perekrutan anggota reserse jarang mempertimbangkan
hal diatas, tanpa melalui tes kompetensi seorang anggota kepolisian yang
“dekat” dengan pimpinan atau pengambil keputusan dapat langsung masuk menjadi
anggota reserse tanpa melihat kemampuan seorang angota kepolisian tersebut.
Oleh
karena itu untuk membentuk anggota reserse yang profesional dalam bidangnya
kita harus melakukan ujian kompetensi untuk melakukan perekrutan terhadap
anggota yang masuk ke fungsi reserse dengan transparan dan netral, selain untuk
mendapat anggota yang mempunyai komitmen dan kemampuan dalam bidang reserse, namun
juga menghindari adanya intervensi atau rasa hutang budi dari seorang anggota
reserse karena dibantu pada saat masuk menjadi anggota reserse.
Berdasarkan
pengalaman penulis ada 3 hal yang diujikan pada tes kompetensi saat perekrutan
anggota reserse :
1.
Tes tertulis yaitu tes mengenai UU No. 2
Tahun 2002, KUHP dan KUHAP
2.
Tes komputer
3.
Tes wawancara
Persyaratan untuk menjadi anggota reserse
harus minimal 4 tahun tugas di kepolisian dan tidak ada catatan pelanggarannya,
tes tersebut sangat penting karena banyak anggota yang tidak menguasai per UU
an yang berhubungan dengan kepolisian dan juga kurang menguasai ketrampilan
mengetik di komputer. Dan untuk menjamin kemurnian ujian tes kompetensi, soal
ujian harus benar benar dijaga kerahasiaannya dan juga dilakukan anggota
provost sebagai pengawas pada saat ujian kompetensi.
Setelah
tes kompetensi selesai dilaksanakan kemudian dirangking, hasilnya diajukan
kepada kapolres, kemudian kapolres memanggil para kasat dan kanit provost untuk
melakukan wanjak mengenai anggota anggota yang sudah di tes tadi masuk menjadi
anggota reserse. Tanpa diduga hal tersebut sangat mendapat respon positif dari
anggota anggota yang lain karena hal tersebut dilakukan secara fair kompetisi,
bukan karena faktor “menghadap” atau “kenal” dengan dengan pimpinan. Dan
sebaiknya untuk perekrutan seorang perwira untuk menjadi kasat serse harus
melalui uji kompetensi juga, dengan segala persyaratannya untuk dapat membawa
dan memimpin anggotanya secara profesional. Serta agar perekrutan anggota disemua
fungsi kepolisian contohnya lalu lintas juga harus dilaksanakan tes kompetensi
sesuai profesionalismenya dibidang fungsi masing masing.
Berdasarkan
perekrutan anggota reserse secara kompetensi maka seorang pimpinan harus berani
mengganti anggota anggota reserse yang kawakan yang kurang profesional dan
kurang produktif kinerjanya dalam pengungkapan kasusnya, sehingga diharapkan
dengan anggota reserse yang mempunyai kompetensi dan ketrampilan dan masih
muda, diharapkan mempunyai jiwa juang yang tinggi dan tidak mengenal lelah
untuk mengungkap suatu kasus.
Dan
diharapkan juga dengan dilakukannya pemilihan anggota reserse secara kompetensi
dan juga transparan, maka diharapkan akan mewujudkan anggota yang profesional
dan independen dari rasa hutang budi dan atau tekanan tekanan laennya yang
dapat mempengaruhi hasil penyidikan. Karena di zaman reformasi Polri dituntut
untuk menjadi profesionalisme dalam segala hal terutama dalam hal penegakan
hukum, karena masyarakat sekarang semakin pintar dan berani untuk menuntut hak mereka untuk mendapatkan
keadilan, dan kita sebagai aparat penegak hukum harus dapat mewujudkannya.
2.2
Pengawasan dari atasannya dan panwas penyidikan
Seorang
perwira yang menjadi atasan penyidik misalnya seorang kasat serse harus lolos
ujian kompetensi dan juga minimal harus berpendidikan sarjana, hal ini
dikarenakan agar dia dapat melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap
anggotanya, karena sebagai seorang pengambil keputusan dia harus dapat
mengambil kebijakan yang tepat agar semua kasus kasus yang ditangani anggotanya
dapat dikerjakan sesuai prosedur. Tanpa kemampuan dan ketrampilan yang baik
dibidang reserse, seorang kasat serse akan dianggap remeh oleh anggotanya yg
kebanyakan lebih lama dan lebih pengalaman di bidang reserse.
Dengan
kemampuan yang dimilikinya seorang kasat serse harus dapat melakukan pengawasan
terhadap setiap laporan polisi yang disidik maupun dilidik oleh anggotanya,
selain melakukan pengawasan dengan cara mengecek tiap LP yang ditangani oleh
penyidik penyidiknya, seorang kasat serse harus mengecek tiap laporan hasil
pelaksanaan tugas setiap anggotanya. Dan sejalan dengan adanya bunyi quick wins
ketiga yaitu transparansi penyidikan dengan memberikan SP2HP, maka kasat serse
harus juga dapat mengontrol anggotanya aktif atau belum memberikan informasi
tentang perkembangan kasus yang dilaporkan oleh korban atau pelapor, kasat
serse sebelum tanda tangan harus mengecek betul format SP2HP nya untuk
mengurangi komplain dari masyarakat.
Selain
menguasai masalah penyidikan dan pengungkapan kasus, dengan adanya DIPA (Daftar
Isian Penggunaan Anggaran), kasat serse harus dapat menggunakan anggaran
reserse dengan sebaik baiknya untuk menghindari adanya penyelewengan oleh
anggota dilapangan, dengan mengecek laporan hasil pelaksanaan tugas yang
dilakukan anggotanya dengan bukti pengeluaran mereka untuk pertanggungjawaban
anggarannya.
Selain
itu Panwas penyidikan harus aktif untuk melakukan pengawasan terhadap
penyidikan yang dilakukan oleh anggota reserse agar tidak terjadi penyimpangan
penyimpangan maupun rekayasa kasus. Anggota Panwas haruslah orang orang yang
berpengalaman di bidang reserse baik dalam hal administrasi penyidikan maupun
dalam hal tindakan reserse di lapangan, bukan orang sembarangan yang diangkat
menjadi Panwas penyidikan agar mereka dapat mengkoreksi dan memperbaiki jika
ada kesalahan kesalahan yang dilakukan oleh penyidik dalam menangani kasus.
Agar
Panwas dapat efektif mereka itu harus berada diluar struktur penyidik dan
dibawah kapolres langsung, karena kalau mereka seorang penyidik juga, maka
sulit bagi mereka melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penyidik lainnya
karena dia juga konsentrasi dengan kasus yang ditangani, dan mereka dibawah
langsung kapolres hal ini untuk menghindari intervensi dari pihak pihak luar,
karena penyidikan kasus di reserse rawan adanya intervensi dan juga faktor
keluarga,sehingga kadang bisa merekayasa kasus untuk melindungi teman atau
keluarganya.
Terlebih
pada saat sekarang reserse sangat mendapat sorotan dari seluruh masyarakat
Indonesia dengan adanya sering terjadi rekayasa kasus dan juga karena faktor
materi sering terjadi “abuse of power” oleh seorang penyidik dalam menangani
suatu kasus, diharapkan adanya Panwas penyidikan dan juga seorang atasan yang
mempunyai kredibilitas dapat membimbing dan membina penyidik untuk menjadi
penyidik yang handal.
2.3 Pendidikan
dan pelatihan anggota serse
Setelah
dilakukan tes kompetensi untuk bisa masuk menjadi anggota reserse dan juga
dilakukan pengawasan oleh atasannya dan juga oleh Panwas penyidikan, anggota
reserse agar dapat profesional harus mengembangkan dirinya dengan mengikuti
pelatihan pelatihan dan pendidikan kejuruan yang diadakan oleh lembaga, selain
itu juga harus kulian diluar lembaga untuk mendapatkan sarjana, apalagi dengan
adanya wacana tentang penyidik harus SH di dalam RUU KUHAP.
Pendidikan
ataupun pelatihan yang diberikan kepada anggota reserse harus sesuai dengan
bidangnya, kalau narkoba khusus diberikan kepada anggota reserse narkoba, atau
illegal logging diberikan kepada anggota tipiter sehingga dapat berguna bagi
penyidik setelah selesai pelatihan ataupun pendidikan kejuruan sesuai bidang
spesialisasinya. Namun dalam beberapa hal banyak pendidikan dan pelatihan
reserse justru fungsi lain yang mengikutinya, oleh karena itu bagian personalia
diharapkan pada saat menunjuk anggota reserse yang berangkat pendidikan harus
koordinasi dulu dengan atasan penggunanya langsung, agar ilmu pelatihannya
dapat bermanfaat dan dipraktekkan dalam pelaksanaan tugas anggota di lapangan.
Untuk
mewujudkan anggota reserse yang profesional dan handal, pendidikan dan
pelatihan sangat penting untuk diberikan kepada anggota reserse, namun dalam
pelaksanaannya bahwa kesempatan anggota reserse yang di daerah daerah terpencil
lebih jarang untuk mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan maupun
pelatihan, hal itu dikarenakan selain terbatasnya pendidikan yang dilakukan,
namun juga kurangnya atau tidak adanya informasi mengenai pendidikan atau
pelatihan fungsi reserse sampai keanggota di daerah terpencil. Sehingga sering
terjadi ketimpangan kemampuan dan keahlian anggota yang di daerah dan anggota
yang dikota tentang pengetahuan penyidikan di fungsi reserse. Diharapkan pihak
mabes Polri dapat merubah pola dalam memberikan informasi tentang pelaksanaan
diadakannya pendidikan atau pelatihan fungsi fungsi tekhnis, agar seluruh
anggota kepolisian di Indonesia dapat mengakses kesempatan tersebut dan
mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelatihan maupun pendidikan
kejuruan fungsi tekhnis kepolisian.
Dan
perlunya juga pelatihan dan pendidikan anggota reserse dalam bidang ilmu
pengetahuan dan tekhnologi, terutama untuk kepolisian di daerah daerah
terpencil, karena dengan semakin berkembangnya tekhnologi yang sangat pesat dan
semakin banyaknya modus modus kejahatan baru yang menggunakan tekhnologi
informatika dalam melancarkan tindak pidananya, maka perlunya kemampuan anggota
reserse di bidang IT, sehingga jika terjadi tindak pidana yang menggunakan
tekhnologi anggota dapat mengetahui bagaimana caranya mengamankan TKP,
mengamankan barang bukti agar tidak hilang karena dalam bentuk data data
elektronik, dan lain lain.
Pelatihan
pelatihan tersebut kiranya harus didukung dengan sarana dan prasarana yang ada
dan juga bagaimana cara mempraktekkannya di lapangan, contoh dalam hal tindak
pidan bidang cyber crime, yaitu bagaimana mengamankan TKP nya, bagaimana
mengamankan BB nya, bagaimana mengamankan data data yang akan dijadikan BB,
karena tanpa adanya latihan praktek akan susah untuk menerapkannya di lapangan.
Khususnya untuk hal hal yang sifatnya tekhnologi informatika. Karena BB yang
dicari berbeda dengan BB tindak kejahatan konvensional yang nyata bentuknya.
Diharapkan
dengan adanya anggota yang mempunyai pengetahuan dan terlatih baik secara teori
maupun praktek, maka akan dapat memberikan pelayanan terbaik terhadap
masyarakat secara profesional. Sehingga penegakan hukum di masyarakat dapat
terwujudkan dengan sebaik baiknya.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
1. Dalam perekrutan anggota reserse perlunya dilaksanakan
ujian kompetensi untuk menghindari adanya budaya “titipan” dan juga KKN dalam
perekrutannya.
2. Kompetensi tersebut juga untuk mewujudkan anggota
reserse yang terampil dan profesional.
3. Pengawasan dari atasan langsung anggota serse dan juga
dari Panwas penyidikan, akan dapat membimbing dan membina anggota reserse agar
dalam menangani kasus dapat secara profesional.
4. Adanya pendidikan dan pelatihan tentang reserse serta
praktek pelaksanaan pengungkapa kasus tindak pidana reserse akan meningkatkan
kemampuan, ketrampilan dan profesionalisme anggota reserse.
3.2
Saran
1. Perlunya adanya seleksi dan uji kompetensi
sebelum anggota tersebut masuk menjadi anggota reserse.
2.
Perlunya adanya pengawasan dan pembinaan
dari atasan langsung angggota reserse agar dapat menangani kasus secara
profesional.
3.
Perlunya adanya pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan untuk
membentuk anggota reserse yang profesional.
BAB
IV
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Awaloedin Djamin, 2009, MANAJEMEN OPERASIONAL
POLRI ( SEBAGAI UKURAN KEBERHASILAN)
2.
Republik Indonesia, Undang Undang Republik
Indonesia No.2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia.
mantap ndan
BalasHapusmakasih mas
Hapus